Daftar Blog Saya

Senin, 18 Oktober 2010

AXIOLOGY DAN PENDIDIKAN Sebuah Pengimplementasian Aksiologi dalam Pendidikan Kristen

Oleh: I Made Suardana

BAB I
PENDAHULUAN

Pendidikan adalah kekuatan bagi tegaknya peradaban suatu bangsa, Bangsa yang maju adalah bangsa yang menghargai pendidikan dan menempatkan pendidikan sebagai poros utama pembentukan watak dan kepribadian bangsa. “Pendidikan harus menjadi kegiatan yang esensial di dalam kehidupan bermasyarakat. Pendidikan itu tidak mungkin terjadi atau terlepas dari kehidupan bermasyarakat”. Masyarakat yang terdidik akan memberi banyak peluang bagi terbentuknya kedasaran bersama akan nilai-nilai kehidupan yang positif, baik pada tatanan moral, etika dan karakter yang bersumber pada kokohnya fondasi spiritualitas. Lunturnya nilai-nilai tradisional dalam masyarakat, baik yang menyangkut moral, etika dan nilai-nilai kebenaran sebagai suatu yang prinsip adalah akibat dari pendidikan yang tidak ditempatkan pada fungsi dan prosesnya yang benar, tujuan pendidikan tidak lagi didasarkan pada pembelajaran aksiologi, dimana pembangunan nilai-nilai etika dan moral seharusnya menjadi inti utama setiap pendekatan pendidikan yang dibangun. Masyarakat yang tidak terdidik baik secara moral dan etika cenderung tidak akan siap menghadapi berbagai perkembangan dan perubahan zaman dengan berbagai tantangannya. Tantangan zaman baik berupa modernitas dan sekularitas tentu akan menghasilkan sikap moral dan etika yang relativistik, tidak berada pada satu perspektif tentang apa yang baik dan benar, segalanya relatif. Dalam paham yang demikian, bisa jadi membunuh pun itu dibenarkan, berbuat asusila itupun sah dan dianggap baik. Peluang terbangunnya kemandirian hidup yang bertanggung jawab pada kebenaran pun pasti akan semakin sulit. Artinya bahwa, masyarakat yang tidak menempatkan pendidikan sebagai proses mendasar pembentukkan nilai-nilai kehidupan, cenderung akan bersikap masa bodoh. Perilaku masa bodoh inilah yang pada akhirnya akan menghasilkan kebodohan, kebodohan membentuk kebiasaan hidup yang tidak bertanggung jawab, bermoral dan beretika rendah, akibatnya cenderung mengarah pada tindak kejahatan. Artinya bahwa, jika pendidikan juga tidak menjamin terbebasnya manusia dari tindak kejahatan, apalagi jika manusia itu tidak terdidik sama sekali, sudah pasti pengembangan etika dan moralnya ke arah yang positif akan mengalami hambatan yang sangat sulit. Socrates filsuf Yunani Kuno, mempercayai bahwa, “The cause of evil is ignorance, so the solution is education. Man can be saved from his evil through the educational process”. Hal mendasar yang dipertanyakan Socrates tentang keyakinannya adalah, “If man is basically good, as Socrates believed, then why does he do evil?, Socrates menegaskan bahwa ketidaktahuan atau kebodohanlah yang menjadi penyebab utama manusia kemudian berbuat jahat. Dengan demikian manusia tersebut harus dibangun dan diberdayakan Sumber Daya Manusianya, menambahkan pengetahuannya, menajamkan kecerdasannya, dan membentuk karakternya, sehingga memiliki pertimbangan moral dan etika yang baik dan benar dalam setiap pengambilan keputusan dalam hidupnya.
Kalau mencermati kenyataan sekarang ini, pendidikan yang dikerjakan atas bangsa ini, pendidikan sudah tak ubahnya hanya seperti toko “jualan ijazah”. Maraknya pemberian ijazah tanpa proses studi yang benar, penjualan ijazah, adalah ciri mendasar mulai lumpuhnya kekuatan pendidikan di bangsa ini. Khususnya menyoroti begitu banyak lembaga-lembaga pendidikan fomal mengkhianati makna dan proses pendidikan sebagai sebuah pembangunan yang berkesinambungan yang tidak hanya menyentuh ranah ilmu pengetahuan semata, tetapi juga terikat pada pembentukkan nilai-nilai moral dan etika kehidupan. Dunia pendidikan telah kehilangan tujuan mendasarnya tersebut yaitu membangun kecerdasan insan yang berdasar pada kekuatan etika dan moralitas. Pendidikan seperti demikian, bukan saja sudah tidak sejalan dengan hakikatnya, tetapi juga telah menciptakan kehancuran bagi generasi dan nasib bangsa ini. Searah dengan tuntutan modernitas dan materialistis, pendidikanpun telah “menjelma’ menjadi “raksasa” bisnis yang mengeruk keuntungan dari proses pendidikan yang telah diselewengkan dan dimanipulasi. Disisi lain sebagai wujud keruntuhan moral dan etika dalam dunia pendidikan, adalah kenyataan yang sangat menyedihkan bahwa dalam pratik pendidikan di Indonesia, ternyata masih ada pendidik yang berperilaku tidak mencerminkan kredibilitasnya sebagai seorang pendidik. Guru berperilaku tidak terpuji, terlibat dalam jaringan napza (narkotika, psikotropika dan zat adiktif), mengkonsumsi juga mengedarkannya dikalangan siswa, guru berbuat cabul dan asusila terhadap anak didiknya, dan lainnya. Integritas dan moralitas yang telah hilang dari pada para pendidik di bangsa ini tentu saja telah menjadi efek domino, yang berakibat bahwa “kalau guru kencing berdiri, murid akan kencing berlari” artinya bahwa, moralitas dan integritas seorang pendidik menjadi dasar terbangunnya moralitas dan integritas hidup pada nara didiknya. Pendidik yang tidak beretika dan bermoral, adalah peluang besar terealisasinya pendidikan yang hanya menyentuh kognitif semata, ranah afektif jelas terabaikan dengan sendirinya karena keteladanan yang tidak sejalan dengan perbuatan. Maka dari itu, tidak heran jika perilaku buruk anak usia sekolah, seperti tawuran, mengkonsumsi napza sampai seks bebas semakin merajalela bahkan menjadi indikator negatif bagi pendidikan di Indonesia. Tentu dalam hal ini akan sangat wajar dipertanyakan, apakah pendidikan yang sedang bermasalah ataukah manusianya yang sedang bermasalah? Tentu pertanyaan ini sangat retoris sifatnya, artinya terbuka untuk berbagai pendapat. Tetapi yang jelas, munculnya berbagai permasalahan kehidupan, apapun bentuknya sangat erat kaitannya dengan pendidikan.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam menjawab tantangan pendidikan di Indonesia yang cenderung semakin meninggalkan pembelajaran etika moral adalah pengaruh dari keberadaan masyarakat Indonesia yang berada ditengah proses transisi dan perubahan sosial serta budaya yang pesat. Dikatakan bahwa budaya modern dan kontemporer telah menyebabkan warga masyarakat semakin menjauhkan diri dari pranata sosial dan budaya asli, sehingga masyarakat semakin memandang nilai etika dan moral tidak begitu mengikat dan tidak menjadi dasar kehidupan. Masyarakat Indonesia telah menjadi masyarakat terbuka dan menerima budaya global serta secara terbuka menerima unsur dan nilai budaya asing. Dunia pendidikan di Indonesia juga terkena imbas dari serangkaian dampak perubahan sosial yang terjadi akibat globalisasi.
Tujuan pendidikan bukan hanya mencerdaskan, tetapi juga mengubah perilaku, watak dan kepribadian, etika dan moral sehingga dengan kecerdasan yang ada mereka mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik dan mulia. Maka dari itu, reorientasi pendidikan menyangkut kurikulum dan penunjang lainnya mau tidak mau harus dikerjakan mengingat pengaruh globalisasi telah mengakibatkan perubahan-perubahan besar dalam bidang pendidikan baik pada tingkat lokal, nasional maupun internasional. Reorientasi pendidikan yang terpenting adalah seperti apa yang dikatakan oleh Van Melsen, bahwa, proses pendidikan harus dikembalikan pada pembentukkan nilai-nilai moral etika dan karakter, ditegaskan pula bahwa, pendidikan akan berjalan jika etika moral dan rasa tanggungjawab ini tertanam dalam hati seseorang sejak dia mengenal pendidikan. Artinya bahwa pendidikan tanpa didasarkan pada aksiologi pendidikan nilai yang menyangkut penerapan etika moral jelas akan berdampak pada lemahnya pertanggungjawaban hidup ke arah yang benar, positif dan membangun. Seperti hal yang sering terjadi dalam dunia pendidikan,bahwa naradidik seringkali mengabaikan kedisiplinan, kesopanan, kejujuran dan kebersihan adalah dampak dari terputusnya relasi antara pendidikan dengan pembangunan etika dan moralitas. Dikatakan bahwa,
Pendidikan yang cenderung mengabaikan nilai aksiologi pendidikan akan mengakibatkan implikasi serius, para siswa merasakan dirinya tak perlu mempunyai semangat disiplin dalam dirinya. Mereka akhirnya tak memandang nilai disiplin berkorelasi dengan prestasi dalam dunia pendidikan. Baginya prestasi hanyalah kebetulan semata. Minat bagi seorang pendidik dalam menyampaikan pelajarannya memerlukan etika yang dapat diterima bagi siswa itu sendiri. Metode yang digunakan dalam penyampaian mata pelajaran dapat diperoleh dari buku pedoman dan pengalaman guru itu sendiri. Dalam etika pendidikan sekolah dituntut untuk memberikan kesan yang baik bagi pengajar dan bagi muridnya.

Dengan demikian, perlu ditegaskan bahwa, faktor utama yang sekarang ini perlu dibangun ialah reformasi pendidikan, yaitu pendidikan yang mengarah pada pembentukan etika siswa yang berakhlak dan berpengetahuan luas. Artinya bahwa semua komponen dalam dunia pendidikan, baik itu menyangkut para pendidiknya, naradidik, tenaga kependidikan harus pertama-tama dibentuk watak dan etika moralnya, dengan demikian setelah semua komponen pendidikan itu dapat di bentuk dan beretika mulia, niscaya bahwa pendidikan tidak bisa diterima oleh masyarakat maupun dunia kerja.
Maka dari itu, mengutip cita-cita agung Plato tentang arah pendidikannya, dikatakan bahwa, “...peranan pendidikan yang paling utama bagi manusia adalah meembebaskan dan memperbaharui. Pembebasana dan pembaharuan tersebut akan membentuk manusia utuh, yakni manusia yang berhasil menggapai segala keutamaan dan moralitas jiwa yang mengantarkannya ke idea tinggi yaitu kebajikan, kebaikan, dan keadilan”.
Melihat betapa pentingnya pendidikan bagi pembentukan genarasi muda yang berwawasan luas namum tetap beretika/moralitas yang tinggi, maka perlu bertitik tolak dari asumsi dasar yang sama, yakni pendidikan dalam arti luas dipahami sebagai bentuk perubahan kualitas hidup seseorang (Quality Of Life). Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan yang diharapkan Plato yaitu “membangun pengetahuan tentang apa yang benar dan apa yang tidak benar, sehingga orang-orang mengenal apa yang baik dan apa yang jahat, apa yang patut dan apa yang tidak.” Bukankah ini dasar pemahaman tentang etika dan moralitas yang harus dikemas dalam dunia pendidikan? Maka dari itu, dalam makalah ini selanjutnya akan dibahas secara khusus tentang pendidikan Aksiologi, kaitan Aksiologi sebagai filsafat dengan pendidikan, yang menurut Jujun S Suriasumantri menegaskan bahwa pendidikan jika ditinjau dari aspek axiologi akan membahas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: “Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/referisonal ?” Sehingga jelaslah bahwa filsafat Aksiologi memiliki peranan yang sangat penting bagi pembentukan dasar filosofis pendidikan yang bertitik tolak pada pencapaian kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normatif, penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu di dalam dunia pendidikan.
B. Rumusan Masalah
Pendidikan tanpa pembelajaran Aksiologi, sama halnya membangun pendidikan yang menghasilkan kualitas yang tidak seimbang, seperti burung yang bersayap sebelah. Maka dari itu, pendidikan selamanya harus didasarkan pada pembelajaran aksiologi. Ada beberapa pertanyaan mendasar yang harus senantiasa digumuli sehubungan dengan keutuhan pengembangan pendidikan baik secara umum maupun di dalam pendidikan Kristen, yaitu sebagai berikut:
1. Mengapa pendidikan harus didasarkan pada pembelajaran aksiologi?
2. Sejauhmana Aksiologi sebagai filsafat nilai bermanfaat dalam dunia pendidikan, khusus dalam pendidikan Kristen?
3. Bagaimanakah seharusnya metode atau model pengimplementasian aksiologi di dalam berbagai komponen dalam pendidikan, khususnya dalam pendidikan Kristen?
Itulah tiga pertanyaan mendasar yang akan dibahas dalam makalah ini. Untuk memahami ketiga rumusan masalah tersebut, maka asumsi dasar yang pertama-tama harus dibangun adalah dalam tataran sebagai filsafat nilai, aksiologi baik itu dalam etika dan estetika, memiliki kesamaan prinsip praktis dalam membangun pendidikan yaitu yang berfokus pada pembentukan manusia melalui pendidikan yang didasarkan pada kekuatan nilai-nilai baik yang bersifat internal maupun eksternal dalam kehidupanya. Namun disisi lain, khususnya dalam hal konsep, pengimplementasian pendidikan tersebut jelas ada perbedaan-perbedaan yang signifikan.
C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini difokuskan untuk beberapa tujuan yaitu:
1. Mencapai sebuah pemahaman yang konferenhensif tentang filsafat Aksiologi
2. Membangun kesadaran kritis terhadap upaya memahami landasan filosofis pendidikan Kristen yang didasarkan pada pembelajaran aksiologi ,yang berdampak nyata pada segenap komponen pendidikan tersebut




BAB II
HAKIKAT AKSIOLOGI DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN

A. Pengertian Filsafat
Sebelum membahas permasalahan mendasar dalam filsafat pendidikan, adalah sangat penting untuk melihat terlebih dahulu bagaimana filsafat tersebut dimaknai. Kata Filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata ini berasal dari kata philosophia yang berarti cinta pengetahuan. Terdiri dari philos dan Sophia. Philos berarti cinta dan Sophia berarti kebajikan, kebaikan atau kebenaran, atau bisa juga diartikan cinta atau hikmah. Berangkat dari pemahaman sederhana tersebut, maka seorang filosof dikatakan orang yang mencintai kebajikan dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya, dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Bertrand Russel, menegaskan bahwa, “konsepsi-konsepsi tentang kehidupan dan dunia yang disebut “filosofis” dihasilkan oleh dua faktor, yaitu, pertama, konsepsi-konsepsi religius dan etis warisan, kedua, factor ini mempengaruhi sistem-sistem yang dibuat oleh para filosof secara perseorangan dalam proporsi yang berbeda-beda, tetapi kedua faktor inilah yang sampai pada batas-batas tertentu, mencirikan filsafat. Bagi Bertrand filsafat dimaknai sebagai, sesuatu yang berada di tengah-tengah antara teologi dan sains. Sebagaimana teologi, filsafat berisikan pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahuan definitif tentangnya, sampai sebegitu jauh, tidak bisa dipastikan; namun; wilayah yang tidak bertuan ini adalah filsafat. Seperti sains, filsafat lebih menarik perhatian akal manusia daripada otoritas tradisi maupun otoritas wahyu. Semua pengetahuan definitif- saya menyebutnya demikian- termasuk ke dalam sains; semua dogma yang melampaui pengetahuan definitef, termasuk ke dalam teologi. Tetapi, di antara teologi dan sains terdapat sebuah wilayah yang tidak dimiliki oleh seorang manusiapun, yang tidak terlindung dari serangan dikedua sisinya. Sedangkan E.S.Ames, merumuskan filsafat sebagai “a comprehensive view of life, and its meaning, upon the basis of the results of the various sciences” tersimpul dari pengertian di atas adalah pengertia, “philosophy is the mother of sciences”. J.A. Leighton mendefinisikan filsafat sebagai “a worldview, or reasoned conception of the whole cosmos, and a life view, or doctrin of the values, meanings, and purposes of human life.” Theodore Brameld menyatakan bahwa filsafat adalah, “the discipline concerned with the formulation of precise meaning,” Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, pada dasarnya filsafat tiada lain, adalah hasil pemikiran manusia, hasil spekulasi manusia, betapapun tidak sempurnanya daya kemampuan pikiran manusia. Mengingat dominasi penggunaan nalar manusia dalam berfilsafat, maka kebenaran yang dihasilkan didasarkan atas penilaian kemampuan maksimal menurut nalar manusia. Namun karena nalar manusia bersifat terbatas, maka kebenaran yang didapat pun bersifat relatif. Dengan demikian kebenaran filsafat adalah kebenaran yang relatif. Artinya, kebenaran itu sendiri selalu mengalami perkembangan sesuai dengan perubahan zaman dan peradaban manusia.
B. Landasan Filosofis Pendidikan
Landasan filosofis bersumber dari pandangan-pandangan dalam filsafat pendidikan, meyangkut keyakianan terhadap hakekat manusia, keyakinan tentang sumber nilai, hakekat pengetahuan, dan tentang kehidupan yang lebih baik dijalankan. Aliran filsafat yang kita kenal sampai saat ini adalah Idealisme, Realisme, Perenialisme, Esensialisme, Pragmatisme dan Progresivisme dan Ekstensialisme. Dalam ¬Esensialisme, mashab pendidikan mengutamakan pelajaran teoretik (liberal arts) atau bahan ajar esensial, dalam Perenialisme, pendidikan yang megutamakan bahan ajaran konstan (perenial) yakni kebenaran, keindahan, cinta kepada kebaikan universal. Pragmatisme dan Progresifme, aliran filsafat yang memandang segala sesuatu dari nilai kegunaan praktis, di bidang pendidikan, aliran ini melahirkan progresivisme yang menentang pendidikan tradisional. Dalam Rekonstruksionisme, pendidikanlah yang menempatkan sekolah/lembaga pendidikan sebagai pelopor perubahan masyarakat. Bangsa Indonesia membangun Landasan Filosofis Sistem Pendidkan Nasional nya pada Pancasila. Pasal 2 UU RI No.2 Tahun 1989 menetapkan bahwa pendidikan nasional berdasarkan pancasila dan UUD 1945. sedangkan Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978 tentang P4 menegaskan pula bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar negara Indonesia.
Sehubungan dengan penerapan prksis dari Landasan filosofis pendidikan tersebut, maka dapat dijabarkan dalam tiga hal mendasar yaitu fokus pendidikan, proses pendidikan dan tujuan dari pendidikan tersebut, sehingga pendidikan tersebut adalah kontinuitas antara starting well, processing weel dan finishing well.
1. Fokus pendidikan
Manusia adalah nilai tertinggi dari pencapaian pendidikan. Artinya bahwa pendidikan harus menempatkan manusia sebagai obyek pendidikan yang yang tidak perlakukan sebagai obyek semata. Dalam bentangan filsafat, dikatakan oleh Kattsoff bahwa, manusia merupakan obyek penyelidikan yang berharga. Artinya bahwa manusia di dalam keberadaannya yang kompleks tersebut manusia tidak hanya bersifat pasif tetapi juga aktif. Manusia memahami dirinya, berpikir, dan memiliki rasa ingin tahu untuk kembali mengoreksi dan menemukan dirinya, yang mungkin sebelumnya dikacaukan oleh dirinya sendiri juga. Ada beberapa hal yang sangat mendasar sehubungan dengan menempatkan manusia pada hakikatnya sebagai focus pendidikan tersebut. Hakekat manusia tersebut adalah;
Pertama, manusia adalah makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah selesai (tuntas) selama hidupnya
Kedua, manusia adalah individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan terutama lingkungan sosial, bahkan ia tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusiaannya tanpa hidup di dalam lingkungan sosial. Dalam bukunya yang berjudul Introduction to Realistic Philosophy, John Wild mengungkapkan bahwa manusia memiliki hakikat rangkap, yaitu kesadaran manusia ketika melihat dan memperhatikan dirinya sendiri atau manusia yang lain tentang keberadaan dirinya yang bersifat material sehubungan dengan kondisi fisiknya juga yang non material yang bersifat akali. Namun pandangan Wild tersebut lebih kepada memisahkan antara materi dan non materi tersebut, dikatakannya bahwa, “manusia meruapakan barang sesuatu yang alami atau substansi, yang diberi tambahan bentuk manusia” Dengan demikian manusia adalah materi yang dapat menerima bentuk manusia dan bentuk manusia itu adalah Wild namakan jiwa atau “psyche”. Paham materialistis tentang manusia mengutamakan materi dan menolak kemampuan berpikir serta menganggapnya sekedar pertanda yang sifat kebetulan. Sebaliknya padangan spiritualistis tentang manusia menolak materi dan memusatkan pada kemampuan berpikir. Aristoteles justru memberikan pandangan yang tepat tentang manusia. Dalam pandangannya yangmenempatkan manusia sebagai hylomorfis, Aristoteles menempatkan manusia mempunyai dua bagian yang hakiki dan dua prinsip yang menyusunya, yaitu, pertama, raga material yang terorganisir, dan kedua, hidup rasional yang menggerakkannya. Kattsoff dalam bukunya Pengantar Filsafat (2004) menegaskan bahwa manusia yang adalah pencapaian tertinggi dari pelaksanaan pendidikan tersebut pada hakikatnya adalah manusia yang bebas. Beberapa nilai kebebasan tersebut pertama-tama merujuk kepada kebebasan manusia di dalam lingkungan ketidakharusan. Artinya bahwa, manusia bebas menyangkut pengetahuan tentang tujuan atau sarana, dan kemampuan untuk mengadakan pilihan-pilihan diantara sarana-sarana yang tidak harus ada, dan bahkan untuk merencanakan sarana-sarana yang tidak harus ada yang dapat dipilih. Kedua, kebebasan sebagai penentuan diri sendiri, yaitu kebebasan yang tidak dihubungkan dengan tidak adanya penentuan atau paksaan, melainkan dengan adanya penentuan diri sendiri.
2. Proses pendidikan.
Memaknai pendidikan sebagai proses berarti menempatkan bagaimana pendidikan tersebut dikerjakan, atau bagaimana pendidikan tersebut kemudian mempertemukan antara yang mendidik dan yang dididik di dalam proses pendidika yang benar. Artinya bahwa proses tersebut harus senantiasa menghasilkan interaksi yang berifat utuh, dimana informasi tersampaikan secara konprehensif. Ciri khas dari pendidikan yang bersifat konprehensif adalah pendidikan dikerjakan sebagai proses yang inheren dalam konsep manusia artinya bahwa proses pendidikan harus memanusiakan manusia. Beberapa prinsip mendasar yang perlu dibangun ketika menempatkan pendidikan tersebut sebagai proses yang memanusiakan manusia adalah sebagai berikut, Langeveld, pakar pendidikan Belanda, mengatakan bahwa pendidikan tersebut harus lah dibangun di dalam suatu dasar yang kuat yaitu suatu proses bimbingan, proses bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai tujuan, yaitu kedewasaan Driyarkara mendefenisikan pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia ke taraf insani itulah yang disebut mendidik, sehingga pendidikan ialah pemanusiaan manusia muda Lebih lanjut Maarif mengartikan pendidikan tersebut sebagai suatu proses panjang dalam rangka mengantarkan manusia menjadi seseorang yang kaya spiritual dan intelektual, sehingga dia dapat meningkatkan kualitas hidupnya di segala aspek dan menjalani kehidupan dengan cita-cita dan tujuan yang pasti
3. Tujuan pendidikan.
John Dewey, berpendapat bahwa pendidikan merupakan proses pembentukan kecakapan fundamental intelektual dan emosional secara manusiawi. Senada dengan itu, Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan Nasional menegaskan bahwa, tujuan pendidikan adalah menuntut segala kekuatan kodrati yang ada pada anak-anak agar mereka menjadi manusia dan anggota masyarakat yang dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang tertinggi. Ciri-ciri keberhasilan pendidikan pada seseorang dapat terlihat pada:
a. Mengerti benar akan tugasnya dengan baik dan didorong oleh rasa tanggung jawab yang kuat terhadap dirinya serta terhadap Tuhan.
b. Mampu mengadakan hubungan sosial dengan bekerja sama dengan orang lain.
c. Mampu menghadapi segala perubahan dunia karena salah satu ciri kehidupan ialah perubahan.
d. Sadar akan dirinya dan harga dirinya sehingga tidak mudah memperjualbelikan dirinya dan kreatif.
e. Peka terhadap nilai-nilai yang sifatnya rohaniah.
Dapat disimpulkan bahwa, uraian tersebut diatas dapat dikatakan sebagai inti dasar dari landasan filosofis pendidikan. Namun perlu ditegaskan bahwa, landasan filosofis pendidikan justru mencakup aspek pendidikan seperti tujuan pendidikan, isi pendidikan, metode pendidikan, pendidik, anak didik, keluarga, masyarakat, merupakan kajian yang konprehensif dalam pengkajian filosofi. Tujuan akhir dari pengkajian filosofi dalam pendidikan adalah merumuskan apa dan bagaimana seharusnya pendidikan tersebut.
Mengutip istilah agung Ki Hajar Dewantara “Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani” Filosofi ini sangat dalam kekuatannya dan akan sangat relevan dengan tujuan pendidikan. Ketika konsep tersebut dimasukkan ke dalam dunia pendidikan, maka sesungguhnya persoalan pendidikan yang sedang terjadi khususnya di Indonesia akan tuntas penyelesaiannya. Dengan kata lain, masih menggunakan gagasan inti Ki Hajar Dewantara tersebut, seorang pendidik harus mencerminkan sosok yang bias disenangi dan menjadi contoh terbaik bagi anak-anak didiknya. Seorang pendidik harus mempunyai sikap dan tindakan yang bisa dilakukan oleh anak didiknya dengan sedemikian rupa dikemudian hari kelak, baik di lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakatnya. Pendidik diharapkan dapat menjadi sosok yang mampu mengubah karakter anak didik kearah karakter yang mandiri dan bertanggung jawab tinggi.

C. Potret dan Permasalahan Pendidikan di Indonesia
1. Pendidikan Masa Orde Lama
Secara tegas dapat dikatakan bahwa pendidikan pada masa Orde Lama dibawah kendali kekuasaan Soekarno, cukup memberikan ruang bebas kepada pendidikan. Konsep pemerintahan Soekarno yang berasaskan sosialisme menjadi rujukan dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk dijalankan dan dilakoni dengan sedemikian rupa demi pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di maa mendatang.
Masa revolusi pendidikan nasional mulai meletakkan dasar-dasarnya. Pada masa revolusi sangat terasa serba terbatas, tetapi bangsa ini dapat melaksanakan pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. Bangsa Indonesia dapat merumuskan Undang Undang Pendidikan No. 4/1950 junto no. 12/ 1954. Dapat membangun sistem pendidikan yang tidak kalah mutunya. Para pengajar, pelajar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serba terbatas. Dengan segala keterbatasan itu memupuk pemimpin-pemimpin nasional yang dapat mengatasi masa pancaroba seperti rongrongan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sayang sekali pada akhir era ini pendidikan kemudian dimasuki oleh politik praktis atau mulai dijadikan kendaraan politik. Pada masa itu dimulai pendidikan indoktrinasi yaitu menjadikan pendidikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan Orde Lama.
Pada Orde Lama sudah mulai diadakan ujian-ujian negara yang terpusat dengan sistem kolonial yang serba ketat tetapi tetap jujur dan mempertahankan kualitas. Hal ini didukung karena jumlah sekolah belum begitu banyak dan guru-guru yang ditempa pada zaman kolonial. Pada zaman itu siswa dan guru dituntut disiplin tinggi. Guru belum berorientasi kepada yang material tetapi kepada yang ideal. Citra guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang diciptakaan era Orde Baru sebenarnya telah dikembangkan pada Orde Lama. Kebijakan yang diambil pada Orde Lama dalam bidang pendidikan tinggi yaitu mendirikan universitas di setiap provinsi. Kebijakan ini bertujuan untuk lebih memberikan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi. Pada waktu itu pendidikan tinggi yang bermutu terdapat di Pulau Jawa seperti UI, IPB, ITB, Gajah Mada, dan UNAIR, sedangkan di provinsi-provinsi karena kurangnya persiapan dosen dan keterbatasaan sarana dan prasarana mengakibatkan kemerosotan mutu pendidikan tinggi mulai terjadi.
Pertanyaannya adalah adakah sisi kelemahan pada masa Orde lama? Tentu yang pasti ada. Nuansa kolonialisme memang masih mewarnai arah pendidikan pada waktu itu, arah pendidikan masih banyak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang masih dalam masa transisi. Namun kendatipu demikian pendidikan progresif masih tetap dapat dilaksanakan ditengah-tengah kondisi bangsa yang masih mengalami masa transisi sangat tinggi baik dalam bidang politik, budaya dan ekonomi.
2. Pendidikan Masa Orde Baru
Dalam era ini dikenal sebagai era pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan dasar terjadi suatu loncatan yang sangat signifikan dengan adanya INPRES Pendidikan Dasar. Tetapi sayang sekali INPRES Pendidikan Dasar belum ditindaklanjuti dengan peningkatan kualitas tetapi baru kuantitas. Selain itu sistem ujian negara (EBTANAS) telah berubah menjadi bumerang yaitu penentuan kelulusan siswa menurut rumus-rumus tertentu. Akhirnya di tiap-tiap lembaga pendidikan sekolah berusaha untuk meluluskan siswanya 100%. Hal ini berakibat pada suatu pembohongan publik dan dirinya sendiri dalam masyarakat. Oleh sebab itu era Orde Baru pendidikan telah dijadikan sebagai indikator palsu mengenai keberhasilan pemerintah dalam pembangunan. Dalam era pembangunan Nasional selama lima REPELITA yang ditekankan ialah pembangunan ekonomi sebagai salah satu dari TRILOGI pembangunan. Maka kemerosotan Pendidikan Nasional telah berlangsung. Dari hasil manipulasi ujian nasional sekolah dasar kemudian meningkat ke sekolah menengah dan kemudian meningkat ke sekolah menengah tingkat atas dan selanjutnya berpengaruh pada mutu pendidikan tinggi. Walaupun pada waktu itu pendidikan tinggi memiliki otonomi dengan mengadakan ujian masuk melalui UMPTN, tetapi hal tersebut tidak menolong. Pada akhirnya hasil EBTANAS juga dijadikan indikator penerimaan di perguruan tinggi. Untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi maka pendidikan tinggi negeri mulai mengadakan penelusuran minat dari para siswa SMA yang berpotensi. Cara tersebut kemudian diikuti oleh pendidikan tinggi lainnya. Di samping perkembangan pendidikan tinggi dengan usahanya untuk mempertahankan dan meningkatkan mutunya pada masa Orde Baru muncul gejala yaitu tumbuhnya perguruan tinggi swasta dalam berbagai bentuk. Hal ini berdampak pada mutu perguruan semakin menurun walaupun dibentuk kopertis-kopertis sebagai bentuk birokrasi baru.
3. Pendidikan Masa Pasca Reformasi
Salah satu gerbang utama yang telah memaksa Soeharto yang adalah penguasa Orde baru mundur dari tampuk kekuasaan selama 32 tahun adalah peristiwa reformasi yang digelar oleh mahasiswa tanggal 21 Mei 1998. Dampaknya kemudian sangat berpengaruh dalam segenap sendi kehidupan berbangsa di negeri ini, termasuk di dalam dunia pendidikan. Era reformasi telah memberikan ruang cukup besar bagi perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner. Hal tersebut diwarnai dengan tumbuhnya proses demokrasi. Demokrasi juga telah memasuki dunia pendidikan nasional antara lain dengan lahirnya Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam bidang pendidikan bukan lagi merupakan tanggung jawab pemerintah pusat tetapi diserahkan kepada tanggung jawab pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang – Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, hanya beberapa fungsi saja yang tetap berada di tangan pemerintah pusat. Perubahan dari sistem yang sentralisasi ke desentralisasi akan membawa konsekuensi-konsekuensi yang jauh di dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Selain perubahan dari sentralisasi ke desentralisasi yang membawa banyak perubahan juga bagaimana untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia dalam menghadapi persaingan bebas abad ke-21. Kebutuhan ini ditampung dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta pentingnya tenaga guru dan dosen sebagai ujung tombak dari reformasi pendidikan nasional.
Sistem Pendidikan Nasional Era Reformasi yang diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 diuraikan dalam indikator-indikator akan keberhasilan atau kegagalannya, maka lahirlah Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang kemudian dijelaskan dalam Permendiknas RI. Di dalam masyarakat Indonesia dewasa ini muncul banyak kritikan baik dari praktisi pendidikan maupun dari kalangan pengamat pendidikan mengenai pendidikan nasional yang tidak mempunyai arah yang jelas. Dunia pendidikan sekarang ini bukan merupakan pemersatu bangsa tetapi merupakan suatu ajang pertikaian dan persemaian manusia-manusia yang berdiri sendiri dalam arti yang sempit, mementingkan diri dan kelompok.
Menurut H.A.R. Tilaar, hal tersebut disebabkan adanya dua kekuatan besar yaitu kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. Pertama adalah adanya Kekuatan Politik. Pendidikan masuk dalam subordinasi dari kekuatan-kekuatan politik praktis, yang berarti pendidikan telah dimasukkan ke dalam perebutan kekuasaan partai-partai politik, untuk kepentingan kekuatan golongannya. Pandangan politik ditentukan oleh dua paradigma yaitu paradigma teknologi dan paradigma ekonomi. Paradigma teknologi mengedepankan pembangunan fisik yang menjamin kenyaman hidup manusia. Paradigma ekonomi lebih mengedepankan pencapaian kehidupan modern dalam arti pemenuhan-pemenuhan kehidupan materiil dan mengesampingkan kebutuhan non materiil duniawi.
Kedua, adalah Kekuatan Ekonomi. Manusia Indonesia tidak terlepas dari modernisasi seperti teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Neoliberalisme pendidikan membawa dampak positif dan negatif. Positifnya yaitu pendidikan menunjang perbaikan hidup dan nilai negatifnya yaitu mempersempit tujuan pendidikan atas pertimbangan efisiensi, produksi, dan menghasilkan manusia-manusia yang dapat bersaing, yaitu pada profit orientit yang mencari keuntungan sebesar-besarnya terhadap investasi yang dilaksanakan dalam bidang pendidikan. Demi mencapai efisiensi dan kualitas pendidikan maka disusunlah beberapa upaya standardisasi. Untuk usaha tersebut maka muncul konsep-konsep seperti Ujian Nasional.
Dalam menyusun RENSTRA Departemen Pendidikan Nasional tahun 2005–2009 lebih menekankan pada manajemen dan kepemeimpinan bukan masalah pokok yaitu pengembangan anak Indonesia. Anak Indonesia dijadikan obyek, anak Indonesia bukan merupakan suatu proses humanisasi atau pemanusiaan. Anak Indonesia dijadikan alat untuk menggulirkan suatu tujuan ekonomis yaitu pertumbuhan, keterampilan, penguasaan skil yang dituntut dalam pertumbuhan ekonomi.

D. Keberadaan Aksiologi dalam Hubungannya dengan Filsafat Pendidikan
1. Pengertian Aksiologi
Axiology: "The branch of philosophy dealing with the nature of value and the types of value, as in morals, aesthetics, religion, and metaphysics." The name Axiology has been used, the greek stem, axios, meaning ”of like value” or ”worth as much as.” Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi. Menurut Suriasumantri, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Menurut Kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut Moh. Noor Syam, aksiologi merupakan suatu pendidikan yang menguji, dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam aksiologi nilai-nilai adalah tolak ukur kebenaran, dalam hal ini, yang menjadi dasar normatif dalam penerapan ilmu maupun pendidikan adalah etika dan moral.
Jadi Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Menurut Brameld Aksiologi terbagi tiga bagian: (1) Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika. (2) Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan. (3) Socio-politcal life, yaitu kehidupan social politik, yangakan melahirkan filsafat social politik.
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika, yang akan dijelaskan dalam bagian selanjutnya.
2. Pengertian Filsafat Pendidikan
Kneller, dalam bukunya, Introduction to The Philosophy of Education, menegaskan bahwa Filsafat pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan, dikatakanya bahwa; “beside having in own concerns, philosophy consider the fundamental assumtions of other branches of knowledge. When philosophy deals with education, we have philosophy of education or educational philosophy.”
Menyoal hubungan antara pendidikan dengan filsafat, J. Donald Butler, mengatakan bahwa, “it is difficult to define education without implying educational philosophy, an evidence of the intimate relation between philosophy and education”. Secara sederhana, John Dewey mendefinisikan hubungan antara filsafat dengan pendidikan, dikatakanya bahwa, “philosophy as a general theory of education.” Namun sumbangan pemikiran Dewey tersebut ditanggapi masih belum tuntas mendefinisikan hubungan antara filsafat dan pendidikan, dikatakan bahwa, ada banyak filosof merasakan bahwa hubungan tersebut masih belum cukup, sebenarnya masih lebih dari pemaknaan yang seperti demikian. Butler memberikan prinsip mendasar sehubungan dengan bagaimana seharusnya filsafat dan pendidikan tersebut dilihat sebagai dua hal yang saling berkatian satu sama lainya, dikatakan bahwa,
Philosophy is theoretical and speculative; education is practical. Philosophy ask questions, examining factors of reality and experience, many of which are involved in the educative process; whereas the factors, i.e., teaching, organizing programs, administering organizations, building curricula, etc. There are two chief ways in which philosophy and education are related. (1) Philosophy yields a comprehensive understanding of reality, a worldview, which when applied to educational practice lends direction and methodology which are likely to be lacking otherwise. By way of reciprocation, (2) the experience of the educator in nurturing the young places him in touch with phases of reality which are considered in making philosophic judgments, because of this, those who are actively engaged in educating can advice philosophers about certain matters of fact. That is to say that while philosophy is a guide to educational practice, education as a field of investigation yields certain data as a basis of philosophic judgments.

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa, selamanya teori dan praktek akan saling berkaitan dan saling melengkapi. Karena tidak akan pernah ada pemisahan yang jelas dan tajam antara teori dan praktek. “no theory is fully exspressed until it is expressed in practice. Not being an end in itself, theory become the evident enjoyment of the dilettante when pursued without responsible reference to practice. It might be said that there can be no practice without theory and no theory without practice, for thought merges in to action and action emerges out of thought”.
3. Keberadaan Aksiologi dalam Filsafat
J. Donald Butler juga mengatakan bahwa, ”though it has roots in Plato, Aristotle, St. Thomas and Spinosa, axiology, the theory of value, is acomparatively young child in the family of philosophy, Ethics, the theory of moral good, is one of the oldest field in philosophy, And Aesthetic, the theory of beauty has long engaged the serious attentions of Philosopers Redja mendiagramkan kedudukan aksiologi di dalam filsafat, yaitu sebagai berikut:
Secara umum berdasarkan obyek kajiannya filsafat dibagi menjadi 3 (tiga) bidang yaitu: (1) Bidang filsafat yang mengkaji tentang ‘ada’ (being), (2) Bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan (epistemologi dalam arti luas), (3) Bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan manusia (axiologi). Masing-masing bidang memiliki cabang-cabangnya. Secara khusus dalam makalah ini, pembahasan hanya akan difokuskan pada bagian ketiga dari tiga bidang tersebut, yaitu Bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan manusia (Aksiologi)
Sebagaimana telah dibahas dalam pengertian aksiologi, axiologi adalah bidang filsafat yang mencoba menjawab pertanyaan “Apa yang dilakukan manusia dan apa yang seharusnya dilakukan manusia?” Di sini dibicarakan tentang nilai-nilai (kata axiologi sendiri dapat diartikan sebagai nilai-nilai yang menjadi sumbu perilaku penghayatan dan pengamalan manusia). Aksiologi mengkaji pengalaman dan penghayatan dari perilaku-perilaku manusia. Di dalamnya dibahas tentang nilai apa yang berkaitan dengan kebaikan dan apakah itu perilaku baik. Selain itu juga dibicara tentang nilai rasa manusia yang dikaitkan dengan keindahan. Cabang filsafat yang termasuk dalam axiologi adalah etika dan estetika.
3.1. Memaknai Aksiologi sebagai Hakikat Ilmu
Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan ilmu dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan yaitu gabungan antara berpikir secara rasional dan empiris Menurut Suriasumantri, ciri-ciri keilmuan didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap tiga pertanyaan pokok yang mencakup apa yang ingin kita ketahui (ontologis), bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemologi), dan apa nilai kegunaannya bagi kita (axiologi). Dalam hal ini, falsafah mempelajari masalah ini sedalam-dalamnya dan hasil pengkajiannya merupakan dasar dari eksistensi atau keberadaan ilmu. Ontologi membahas tentang apa yang diketahui dan seberapa jauh untuk ingin tahu. Kemudian, bagaimana cara untuk mendapatkan pengetahuan mengenai obyek tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka harus berpaling kepada epistemologi, yakni teori pengetahuan. Menurut Pranarka, orang perlu mencari dan mempertanyakan dasar-dasar dari ilmu itu, terutama menunjukkan legitimasi epistemologinya. Selanjutnya, jawaban untuk pertanyaan ketiga tentang nilai kegunaan pengetahuan, berkaitan dengan axiologi yakni teori tentang nilai. Setiap bentuk buah pemikiran manusia dapat dikembalikan pada dasar-dasar ontologi, epistemologi, dan axiology dari pemikiran yang bersangkutan. Secara lebih rinci, Suriasumantri menyatakan, bahwa tiap-tiap pengetahuan mempunyai tiga komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya. Komponen tersebut adalah ontologi, epistemologi, dan axiologi. Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas/ruang lingkup wujud yang menjadi objek penelaahan (objek formal dari pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat realitas (metafisika) dari objek formal tersebut. Epistemologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan. Sedangkan aksiologi merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan tersebut.
3.2. Keberadaan Aksiologi di dalam Berbagai Aliran Filsafat
a. Aksiologi dalam Idealisme
Idealisme merupakan sistem filsafat yang telah dikembangkan oleh para filsuf di Barat maupun di Timur. Di Timur, idealisme berasal dari India Kuno, dan di Barat idealisme berasal dari Plato, yaitu filsuf Yunani yang hidpu pada tahun 427-347 sebelum Masehi. Dalam pengertian filsafati, idealisme adalah sistem filsafat yang menekankan pentingnya keunggulan pikiran (mind), roh (soul) atau jiwa (spirit) dari pada hal-hal yang bersifat kebendaan atau material. Aksiologi merupakan hakikat nilai yang bersifat abadi. Menurut Idealisme Theisti, nilai-nilai abadi berada pada Tuhan. Menurut Idealisme Pantheistik mengindentikkan Tuhan dengan alam yang meyakini nilai-nilai adalah absolut dan tidak berubah karena aturan-aturan yang sudah ditentukan alam. Kesimpulannya bahwa manusia diperintah oleh nilai-nilai impresif dan abadi yang bersumber dari realitas yang absolut.
b. Aksiologi Dalam Realisme
Menurut realisme, sumber semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya. Realisme memandang bahwa baik dan buruknya keadaan manusia tergantung pada keturunan dan lingkungannya. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan antara pembawa-pembawa fisiologis dan pengaruh-pengaruh lingkungannya. George Santayana memadukan pandangan idealisme dan realisme dalam suatu sintesa dengan menyatakan bahwa “nilai” itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian, dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung tinggi asas otoriter atau nilai-nilai, namun tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri.
Dengan demikian Aksiologi dalam pandangan realism merupakan nilai-nilai dapat diterima dimasyarakat apabila sesuai dengan nilai-nilai umum masyarakat. Tingkah laku manusia diatur oleh hukum-hukum alam yang diperoleh melalui ilmu, dan pada taraf yang lebih rendah diatur oleh kebiasaan-kebiasaan atau adat-istiadat yang telah teruji dalam kehidupan.

c. Aksiologi dalam Eksistensialisme
Berdasarkan aliran ini, kenyataan atau kebenaran adalah eksistensi atau adanya individu manusia itu sendiri. Adanya manusia didunia ini tidak punya tujuan dan kehidupan menjadi terserap karena ada manusia. Manusia adalah bebas, akan menjadi apa orang itu ditentukan oleh keputusan komitmennya sendiri. (Callahan, 1983) Aksilolog dalam pandangan eksistensialisem lebih mengarah pada pencapaian nilai hidup pada kemerdekaan. Nilai hidup tertinggi manusia adalah kemerdekaan. Dengan kemerdekaan itulah keterbukaan hidup dapat ditanggapi secara baik. Aksiologi dalam aliran filsafat ini bertujuan mengembangkan kesadaran individu, memberikesempatan untuk bebas memilih etika, mendorong pengembangkan pengetahuan diri sendiri, bertanggung jawab sendiri, dan mengembangkan komitmen diri sendiri. Materi pelajaran harus memberikesempatan aktif sendiri, merencana dan melaksanakan sendiri, baik dalam bekerja sendiri maupun kelompok. Materi yang dipelajari ditekankan kepada kebutuhan langsung dalam kebutuhan manusia. Peserta didik perlu mendapatkan pengalaman sesuai dengan perbedaan-perbedaan individual mereka. Guru harus bersifat demokratis dengan teknik mengajar langsung.
d. Aksiologi dalam Progresivisme
Pandangan Aksiologi dalam Progresivisme adalah Nilai tidak timbul dengan sendirinya, melainkan ada faktor-faktor yang merupakan pra syarat. Nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, sehingga memungkinkan adanya relevansi seperti yang ada dalam masyarakat pergaulan. Oleh karena adanya faktor-faktor yang menentukan adanya nilai, maka makna nilai itu tidaklah bersifat eksklusif. Ini berarti berbagai jenis nilai seperti benar atau salah, baik atau buruk dapat dikatakan ada bila menunjukkan adanya kecocokan dengan hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan.
Berdasarkan pandangan diatas, progresivisme tidak mengadaklan pembedaan tegas antara nilai instrinsik dan nilai instrumental. Dua jenis nilai ini saling bergantung satu sama lain seperti juga halnya pengetahuna dan kebenaran. Misalnya bila dikatakan bahwa kesehatan itu selalu bernilai baik tidaklah semata-mata suatu ilustrasi tentang nilai instrinsik. Nilai kesehatan akan dihayati oleh manusia dengan lebih nyata bila dihubungkan dengan segi-segi yang bersifat operasional; bahwa kesehatan yang baik akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.
Hubungan timbal balik dua sifat nilai instrinsik dan instrumental ini menyebabkan adanya sifat perkembangan dan perubahan pada nilai. Nilai-nilai yang sudah tersimpan sebagai bagian dari kebudayaan itu ditampilkan sebagai bagian dari pengalaman, sedang individu-individu mampu untuk mengadakan tinjauan dan penentuan mengenai standar sosial tertentu. Karena itu nilai merupakan bagian integral dari pengalaman dan bersifat relative, temporal dan dinamis. Maka sifat perkembangannya berdasarkan pada dua hal; untuk diri sendiri dalam arti kebaikan instrinsik dan untuk lingkungan yang lebih luas dalam arti kebaikan instrumental.
e. Aksiologi dalam Pragmatisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah William James (1842-1910), Hans Vahinger, Ferdinant Sciller, Georger Santayana, dan Jhon Dewey. Menurut pandangan aliran ini, nilai diturunkan dari kondisi manusia dan bersifat tidak eksklusif, tidak berdiri sendiri, melainkan berada dalam satu proses yaitu dalam tindakan/perbuatan manusia itu sendiri. Aliran hakikat realitas menganggap bahwa segala sesuatu yang dialami manusia (pengalaman) bersifat plural (pluralistic), dan terus menerus berubah. Menurut hakikat manusia, kepribadian tidak terpisahkan dari realitas pada umumnya, dikarenakan realitas terus berubah, sehingga manusia pun merupakan bagian dari perubahan itu.
f. Aksiologi dalam Rekonstruksionisme
Kata Rekonstruksionisme berasal dari bahasa Inggris ”reconstruct”, yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan aliran rekonstruksionisme merupakan suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dengan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu berawal dari krisis kebudayaan modern. Meskipun demikian, prinsip yang dimiliki oleh aliran ini tidaklah sama dengan prinsip yang dipegang oleh aliran perenialisme . Tetapi sesuai dengan aliran istilah yang dikandungnya, yaitu berusaha membina suatu konsessus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia (kembali ke bentuk aslinya). Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan antar sesame manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka melalui lembaga dan proses pendidikan, rekonstruksionisme ingin merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang sama sekali baru.
Aliran rekonstruksionalisme adalah aliran yang berusaha merombak kebudayaan modern. Sejalan dengan pandangan perenialisme yang memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan,dan kesimpangsiuran. Aliran rekonstruksionalisme dalam memecahkan masalah, mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan manusia yang memerlukan kerja sama. Dalam aliran konstruksionisme, nilai bersifat persetujuan/komitmen yang berkaitan dengan latar belakang sosial dalam era kesejahteraan (welfare state). Barnadib mengungkapkan bahwa aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural yakni menerima nilai natural yang universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia adalah emanasi (pancaran) yang potensial yang berasaldari dan dipimpin oleh Tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat diketahuinya. Ke¬mudian, manusia sebagai subyek telah memiliki potensi-potensi kebaikan dan keburukan sesuai dengan kodratnya. Kebaikan itu akan tetap tinggi nilainya bila tidak dikuasai oleh hawa nafsu belaka, karena itu akal mempunyai peran untuk memberi penentuan.
g. Pandangan Aksiologi Essensialisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah Desiderius Erasmus, John Amos Comenius (1592- 1670), John Locke (1632-1704), John Hendrick Pestalalozzi (1746-1827), John Frederich Frobel (1782-1852), Johann Fiedirich Herbanrth (1776-1841),dan William T. Horris (1835-1909). Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal dari pandangan-pandangan idealisme dan realisme karena aliran essensialisme terbina dari dua pandangan tersebut. Menurut idealisme, sikap, tingkah laku, dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Menurut realisme, sumber semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya. Realisme memandang bahwa baik dan buruknya keadaan manusia tergantung pada keturunan dan lingkungannya.
h. Pandangan Aksiologi Perennialisme
Perenialisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural, yakni menerima universal yang abadi. Dengan azas seperti itu, tidak hanya ontologi dan epistemologi yang didasarkan atas prinsip teologi dan supernatural, melainkan juga aksiologi. Khususnya dalam tingkah laku manusia, maka manusia sebagai subyek telah memiliki potensi-potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, di samping itu adapula kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan kearah yang tidak baik.
Masalah nilai itu merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada azas-azas supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia itu yang pertama-tama adalah pada jiwanya. Oleh karena itulah hakekat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatan-perbuatannya, dan persoalan nilai adalah persoalan spiritual. Dalam aksiologi, prinsip pikiran itu bertahan dan tetap berlaku. Secara etika, tindakan itu ialah yang bersesuaian dengan sifat rasional seorang manusia, karena manusia itu secara alamiah condong kepada kebaikan.
Jadi manusia sebagai subyek dalam bertingkah laku, telah memiliki potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, di samping adapula kecenderungan-kecenderunngan dan dorongan-dorongan kearah yang tidak baik. Tindakan yang baik adalah yang bersesuaian dengan sifat rasional (pikiran) manusia. Kodrat wujud manusia yang pertama-tama adaJah lercermm dari jlwa dan pikirannya yang disebut dengan kekuataJl potensial yang membimbing tindakan manusia menuju pada Tuhan at au menjauhi Tuhan, dengan kata lain melakukan kebaikan atau kejahatan, Kebaikan tertinggi adalah mendekatkan diri pada Tuhan sesudah tingkatan ini baru kehidupan berpikir rasional.
Dalam bidang pendidikan perennialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokohnya, seperti Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas. Menurut Plato, manusia secara kodrat memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan dan pikiran, Pendidikan hendaknya berorientasi pada p~tensi itu dan kepada masyarakat, agar supaya kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi. Dengan demikian jelaslah bahwa perenialisme itu rnenghendaki agar pendidikan disesuaikan dengan keadaan manusia yang mempunyai nafsu, kemauan dan pikiran sebagaimana yang dimiliki secara kodrat. Dengan memperhatikan hal ini, maka pendidikan yang berorientasi pada potensi dan masyarakat akan dapat terpenuhi.
Ide-ide Plato ini kemudian dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekatkan kepada dunia kenyataan, Bagi Aristoteles tujuan pendidikan adalah "kehahagiaan". Untuk mencapai pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelek harus di kembangkan secara seimbang. Sejalan dengan uraian di atas, Zuhairini Arikunto juga berpendapat dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, mengatakan tujuan pendi¬dikan yang dikehendaki oleh Thomas Aquinas ialah sebagai usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas, aktif dan nyata, Oalam hal ini peranan guru adalah mengajar dan memberikan bantuan pada anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada padanya.
Menurut Robert Hutchkins bahwa manusia adalah animal rasionale, maka tujuan pendidikan adalah mengembangkan akal budi supaya anak didik dapat hidup penuh kebijaksanaan demi kebaikan hidup itu sendiri. Oleh karenanya tujuan pendidikan di sekolah perlu sejalan dengan pandangan dasar di atas, mempertinggi kemampuan anak untuk memiliki akal sehat.
Dapatlah disimpulkan bahwa tujuan dari pada pendidikan yang hendak dicapai oleh para ahli tersebut di atas adalah untuk mewujudkan agar anak didik dapat hidup bahagia demi kebaikan hidupnya sendiri. Jadi dengan akalnya dikembangkan maka dapat mempertinggi kemam¬puan akal pikirannya. Dari prinsip-prinsip pendidikan perenialisme tersebut maka perkembangannya telah mempengaruhi sistem pendidikan modern, seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah, perguruan tinggi.
4. Hubungan Aksiologi dengan Filsafat Pendidikan
Aksiologi sebagai cabang dari filsafat tentu berkaitan erat dengan Filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan yang dikembangakan sebagai dasar dan pedoman harus sesuai dengan filsafat yang dianut oleh suatu bangsa, dan pendidikan itu sendiri merupakan mekanisme dari nilai-nilai filsafat itu sendiri.
Diatas telah didefenisikan mengenai filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hakekatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan lapangan pendidikan. Oleh karena bersifat filosofis, dengan sendirinya filsafat pendidikan ini pada hakekatnya adalah penerapan suatu analisa filosofis terhadap lapangan pendidikan. Hubungan antara Aksiologi sebagai cabang dari filsafat dan filsafat pendidikan ini tidak hanya ke-insidental, melainkan suatu keharusan. John Dewey, seorang filsuf Amerika, menanggapi secara khusus mengenai hubungan filsafat dengan filsafat pendidikan, dikatakan bahwa filsafat itu ialah teori umum dari pendidikan, landasan dari semua pemikiran yang mengenai pendidikan . Lebih dari itu, memang filsafat mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan menyelidiki faktor-faktor realita dan pengalaman yang banyak terdapat dalam lapangan pendidikan. Jadi hubungan filsafat dan filsafat pendidikan sangat penting, karena merupakan dasar dan pedoman suatu system pendidikan. Filsafat pendidikan merupakan aktivitas pemikiran teratur yang menjadikan filsafat sebagai medianya untuk menyusun proses pendidikan, menyelaraskan dan mengharmoniskan serta menerangkan nilai-nilai dan tujuan yang ingin di capai. Ketika pendidikan berarti mentransformasikan nilai-nilai kedalam hidupnya, baik itu menyangkut nilai etika dan estetika maka pendidikan aksiologi sesungguhnya telah dikerjakan. Artinya bahwa antara pendidikan dan aksiologi tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian jelaslah bahwa, pendidikan adalah upaya mengerjakan penanaman nilai-nilai melalui kegiatan mendidik, mengajar dan melatih secara terpadu dan berkelanjutan dengan memperhatikan keserasian dengan perkembangan naradidik dan lingkungannya.
Aksiologi sebagai cabang filsafat yang membahas nilai baik dan nilai buruk, indah dan tidak indah, erat kaitannya dengan pendidikan. Nilai akan selalu dipertimbangkan atau akan menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan tujuan pendidikan. Langsung atau tidak langsung, nilai akan menentukan perbuatan pendidikan. Nilai merupakan hubungan sosial. Brubacher dalam Uyoh Sadulloh, mengemukakan hubungan antara aksiologi dengan pendidikan sebagai berikut: “directly or indirectly question of value are involved in nearly every decision with the educator makes. Education is directly concerned with values at number of points. Most abvious,of course, are points such as instuctional aims, motivation and marks or grades. To state one’s aims of education is at one to state his educational values. It is through such a stetament that we get at the purposes of a teacher or school system”. Sehubungan dengan kaitan antara aksiologi dengan pendidikan, maka setiap pendidik akan senantiasa membangun bagi dirinya pertanyaan-pertanyaan aksiologis yang harus dijawab guru itu sendiri, sebelum mengimplementasikan pendidikan yang akan diberikannya, pertanyaan-pertanyaan aksiologis tersebut biasanya sebagai berikut: Nilai-nilai apa yang dikenalkan guru kepada siswa untuk diadopsi? Nilai-nilai apa yang mengangkat manusia pada ekspresi kemanusiaan yang tertinggi? Nilai-nilai apa yang benar-benar dipegang orang yang benar-benar terdidik? Pada intinya aksiologi menyoroti fakta bahwa guru memiliki suatu minat tidak hanya pada kuantitas pengetahuan yang diperoleh siswa melainkan juga dalam kualitas kehidupan yang dimungkinkan karena pengetahuan. Pengetahuan yang luas tidak dapat memberi keuntungan pada individu jika ia tidak mampu menggunakan pengetahuan untuk kebaikan.

BAB III
MEMAKNAI AKSIOLOGI SEBAGAI FILSAFAT NILAI
DALAM PENDIDIKAN

A. Aksiologi dan Nilai
Persoalan tentang nilai sebenarnya telah dibahas sejak Yunani kuno, tetapi belum dirumuskan secara sistematik, sehingga belum merupakan kajian teoritik yang khas. Hal mendasar sebagai sumber dari persoalan tentang nilai adalah keutamaan atau keluhuran hidup manusia, yang selalu berkaitan dengan sumber-sumber kejiwaan, seperti akal, kehendak dan rasa.
1. Karakteristik Nilai
Ada beberapa karakteristik yang berkaitan dengan teori nilai, yaitu:
a. Nilai Objektif atau Subjektif
Nilai itu obyektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya nilai itu “subyektif” jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah itu bersifat psikis atau fisik.
b. Nilai absolute atau berubah
Suatu nilai dikatakan absolute atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku serta abash sepanjang masa, serta akan berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas sosial. Dilain pihak, ada yang beranggapan bahwa semua nilai relatif, sesuai dengan harapan dan atau keinginan manusia yang selalu berubah, maka nilai itupun mengungkapkan perubahan-perubahan tersebut. Oleh karena itu, nilai dapat berasal dari pengalaman, dan diuji oleh pengalaman dalam kehidupan masyarakat.
2. Tingkatan (hierarki )nilai
Ada beberapa pandangan tentang tingkatan nilai, yaitu, pertama, kaum idealis berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana spiritual lebih tinggi daripada non spiritual (nilai materi). Mereka menempatkan nilai religi pada tingkat yang tinggi, karena nilai religi membantu dan menemukan tujuan akhir hidupnya dan merupakan kesatuan dengan nilai spiritual. Kedua, kaum realis juga berpandangan bahwa terdapat tingkatan nilai, dimana mereka menempatkan nilai rasional atau empiris pada tingkatan atas sebab membantu manusia menemukan realitas objektif, hukum-hukum alam, dan aturan-aturan berpikir logis. Ketiga, kaum pragmatis semolak tingkatan nilai secara pasti. Menurut mereka suatu aktivitas dikatakan baik seperti yang lainnya apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai instrumental mereka sangat sensitive terhadap nilai-nilai yang menghargai masyarakat, tetapi mereka berkeyakinan akan pentingnya pengujian nilai secara empiris daripada merenungkannya secara rasional. Nilai-nilai particular (khusus) hanyalah merupakan alat (instrument) untuk mencapai nilai yang baik.


3. Jenis-Jenis Nilai
Dalam Aksiologi, teori tentang nilai mengacu pada masalah etika dan estetika, yaitu sebagai berikut:
a. Etika
Istilah etika berasal dari kata Yunani ”ethos” yang berarti adat kebiasaan. Dalam istilah lain, para ahli yang bergerak dalam bidang etika, menyebutkan dengan ”moral”, berasal dari bahasa Yunani, juga berarti kebiasaan. Walaupun antara etika dan moral terdapat perbedaan, namun dlam hal pratis cenderung diartikan sama. Etika merupakan teori tentang nilai, ilmu kesusilaan yang memuat dasar-dasar untuk berbuat susila. Sedangkan moral menunjukan pelaksanaanya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Encyclopedia Britanica, ”ethics is the systematic study of the nuture of values concept, ”good”, ”bad”, ”ought”, ”right”, ”wrong”, etc. And of the general principles with justify us in applying them to anything: also called ’moral philosophy”. Jadi jelas bahwa pada dasarnya Etika adalah cabang filsafat yang mengkaji nilai apa yang berkaitan dengan kebaikan dan apakah itu perilaku baik. Cabang ini meliputi apa dan bagaimana hidup yang baik, menjadi orang yang baik, berbuat baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup. Kneller mengatakan bahwa, ”Ethics is the study of value in the realm of human conduct. It deals with such question as: What is good life for all? How ought we to behave? It is concerned with providing ”right” value as the basis for the ”right” ations. B.S. Sidjabat, merangkan bahwa, pembahasan etika di dalam aksiologi adalah berfokus pada apa yang baik dan apa yang buruk. Pertanyaan yang berkaitan dengan etika adalah soal ukuran, atau norma. Adakah nilai moral absolut? Bagaimana moral dibentuk dan berkembang? Bagaimana strategi pengambilan keputusan yang benar? Kneller membagi teori tentang etika tersebut dalam dua jenis, yaitu ”intuitionisme” and ”naturalisme”. Intuitionists assert that moral values are apprehended by the individual directly. We grasp the rightness or wrongness of something by means of an inborn moral sense. The moral values we apprehend in this way are right in themselves. Their rightness can not be proved logically or tested empirically; it can only be intuited. Naturalists maintain that moral values should be determinet by careful studies of the ascertainable consequences to which they give rise.
Dengan demikian, ada dua hal yang harus dipahami sehubungan dengan etika tersebut, yaitu, pertama, menunjuk kepada sebuah disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya. Kedua, yaitu menunjuk kepada pokok permasalahan dari disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup manusia yang sesungguhnya dan hukum-hukum tingkah laku manusia. Dalam etika juga dipelajari tentang moralitas dan alasan-alasan yang lebih abstrak, mengapa manusia berbuat dan tidak berbuat sesuatu? Etika bukanlah sekedar kumpulan perintah dan larangan (‘harus’ dan ‘jangan’) tetapi merupakan satu sistem nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terpadu secara teratur untuk mencapai masyarakat yang berbudaya dan hidup bahagia.
b. Estetika
Menurut J. Donald Butler, estetika adalah, ”The nature of the values which are found in the felling aspects of experience. The conscious search for the principles governing the creation aand appreciation of beautiful things”. Estetika mengkaji pengalaman dan penghayatan manusia dalam menanggapi apakah sesuatu itu indah atau tidak. Jadi estetika membahas soal-soal keindahan yang dipersepsi oleh manusia. Artinya bahwa ketika membahas atau memaknai estetika, pembahasan atau pemaknaan tersebut senantiasa berkaitan dengan emosi, kognisi dan afeksi. Maka dari itu dalam estetika sangat ditonjolkan soal imajinasi dan kreatifitas sehubungan dengan keindahan, keserasian dan kerapian. Karena keadaannya menyangkut tentang keindahan (beauty), maka estetika biasanya cenderung sulit untuk diabsolutkan. Kneller, mengatakan bahwa, ”Aesthetic values usually are dificult to assess because they are likely to be personal and subjective.” Estetika seringkali diartikan atau dinyatakan sebagai hakikat keindahan, tetapi sesungguhnya konsep keindahan hanyalah salah satu dari sejumlah konsep-konsep dalam filsafat seni. Interpretasi tentang hakikat seni telah dikemukakan oleh Randall dan Buchler dalam tiga pemahaman, yaitu. Pertama, seni sebagai penembusan (penetrasi) terhadap realitas, selain pengalaman. Setiap benda yang disebut indah harus memiliki sifat-sfat tertentu yang absolut. Keindahan absolut adalah abadi, sedangkan benda-benda indah dalam alam ini adalah fana sifatnya. Kedua, seni sebagai alat untuk kesenangan. Bagi interpretasi ini, seni dinilai tidak memiliki nilai apapun kecuali nilai kesenangan. Interpretasi tentang seni seperti ini menekankan pada hedonisme (hedonisme estetis) yang dinyatakan dalam berbagai bentuk. Ketiga, seni sebagai ekspresi yang sebenarnya tentang pengalaman. Seni berakar dalam ikatan pengalaman. Seni adalah pengalaman, yaitu pengalaman yang ditransformasikan secara sadar, menyangkut kepribadiannya, pengetahuannya, daya ingatan dan imaginasinya, serta kontribusi lingkungan dalam hal materi.

B. Problematika Pembelajaran Aksiologi: Konflik antara Etika
dan Estetika
Di dalam filsafat ilmu, terjadi banyak kesibukan di dalam menghadapi pertanyaan apakah ilmu bersifat bebas nilai atau tidak? Suatu tanggapan disebut pertimbangan nilai (value judgment) jika di dalamnya orang mengatakan bahwa sesuatu hal baik atau tidak, positif atau negataif, atau apakah sesuatu hal layak untuk diutamakan dibandingkan dengan hal yang lain. Ini berarti hal tersebut terikat oleh asas moral keilmuan. Dagobert Runes, mengemukakan beberapa persoalan yang berkaitan dengan nilai yangmencakup: (1) hakikat nilai, (2) tipe nilai, (3) Kreteria Nilai, dan (4) status metafisika nilai. Pertama, mengenai hakikat nilai, contohnya adalah teori voluntarisme. Teori ini, mengatakan nilai adalah suatu pemuasan terhadap keinginan atau kemauan. Kaum hedonism mengatakan, hakikat nilai adalah ”pleasure” atau kesenangan. Semua kegiatan manusia. Menurut formalism, nilai adalah kemauan yang bijaksana yang didasarkan pada akal rasional. Menurut pragmatisme, nilai itu baik apabila memenuhi kebutuhan dan memiliki nilai instrumental yaitu sebagai alat untuk mencapai tujuan. Kedua, Tipe nilai dapat dibedakan antara nilai intrinsik dan nilai instrumental. Nilai intrinsik merupakan nilai akhir yang menjadi tujuan, sedangkan nilai instrumental adalah sebagai alat untuk mencapai nilai intrinsik. Ketiga, kreteria nilai, yaitu sesuatu yang menjadi ukuran dari nilai tersebut, bagaimana yang dikatakan nilai yang baik, dan bagaimana yang dikatakan nilai yang tidak baik. Kaum hedonisme menemukan ukuran nilai dalam sejumlah “kesenangan” yang dapat dicapai oleh individu maupun masyarakat, bagi kaum pragmatis, yang menjadi kreteria nilai adalah “kegunaannya” dalam kehidupan, baik bagi individu maupun masyarakat. Keempat, yang dimaksud dengan status metafisik adalah bagaimana hubungana nilai-nilai tersebut dengan realitas. Menurut objektivisme, nilai itu berdiri sendiri, namun bergantung dan berhubungan dengan pengalaman manusia. Pertimbangan terhadap nilai berbeda antara manusia yang stu dengan yang lainnya. Menurut objektivisme logis, nilai itu suatu wujud, suatu kehidupan yang logis,tidak terkait pada kehidupan yang dikenalnya, namun tidak memiliki status dan gerak di dalam kenyataan. Menurut objektivisme metafisik, nilai adalah suatu yang lengkap, objektif, dan merupakan bagian aktif dari realitas metafisik. Sedangkan argumentasi yang diajukan oleh subjektivisme, adalah apabila nilai itu objektif, maka pendapat tiap-tiap individu pasti akan sampai pasa satu kesepakatan tentang nilai tersebut. Subjektivisme mengatakan bahwa, perbedaan pendapat disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa tiap-tiap individu memiliki selera sendiri-sendiri. Kedua argumentasi, baik objektivisme maupun subjektivisme dalam memaknai nilai, tidak akan pernah sejalan, karena kedua pandangan ini memiliki titik tolak yang berlainan, meskipun sebenarnya keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam hal itu, Frondizi, memberikan pendekatan sebagai upaya menjembatani gap dari kedua argumentasi tersebut, yaitu: Nilai merupakan hasil interaksi antara subjek dan objek. Aspek subjektivisme lebih tepat diterapkan dalam hal yang lebih konkret, seperti kenikmatan makanan. Aspek objektivisme lebih tepat diterapkan dalam persoalah yang lebih abstrak seperti; berkaitan dengan bidang moral, keadilan dan kewajiban.









BAB IV
APLIKASI AKSIOLOGI DALAM PENDIDIKAN KRISTEN

A. Hubungannya Aksiologi dengan Prinsip Dasar Pendidikan Kristen
Pendidikan Kristen identik dengan pembentukan nilai-nilai dalam diri peserta didik. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa, pendidikan Kristen selama ini, telah dan sedang mengerjakan pembelajaran Aksiologi di dalamnya. Artinya bahwa, ketika perserta didik dibekali dengan tahu membedakan mana yang baik dan yang tidak baik, serta dimampukan untuk menentukan sikap positif terhadap apa yang baik, dapat dikatakan pembelajaran aksiologi telah termasuk didalamnya. Namun perlu dimengerti lebih jauh, bahwa di dalam pendidikan Kristen pembentukan nilai-nilai tersebut erat kaitannya dengan pembangunan jati diri yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan.
Pembangunan mentalitas hidup yang didasarkan pada kekuatan keyakinan di dalam Tuhan Yesus Kristus. Ada hal yang sangat mendasar sehubungan dengan telah terlaksananya pembelajaran aksiologi di dalam pembangunan nilai-nilai dan karakter hidup Kristen melalui Pendidikan Kristen. Pendidikan Kristen merupakan proses pembentukan komitmen total dalam diri peserta didik dalam keimanannya. Komitmen total tersebut adalah mutlak berupa penarikan diri dari kehidupan yang diperhamba oleh dosa. Dan tentunya konsepnya adalah “memutuskan hubungan atau memisahkan diri”. Ada beberapa hal yang harus terjadi di dalam proses pendidikan yang mengerjakan komitmen total dalam hidup Kristen.
1. Peserta Didik dibangun Pemahamannya tentang Adanya Sumber Kuasa Ilahi
Pendidikan yang berbasis pada pembangunan komitmen total nilai-nilai hidup Kristen yang sejati, sungguh mustahil tanpa kuasa Allah. Mengapa konsep adanya sumber kuasa ilahi menjadi hal terpenting? “Komitmen itu sendiri adalah sifat alami Allah atau hakikat Allah. Yohanes 4:8, 16, “barangsiapa tidak mengasihi Allah ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih…kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam Dia”. Kandungan inti kasih adalah komitmen, yang bermakna bahwa Allah, di dalam watak-Nya, adalah komitmen.”
Dengan demikian komitmen yang murni dari setiap peserta didik sebagai orang percaya, adalah mutlak komitmen yang dibangun berdasarkan komitmen Allah kepada umat-Nya. 1 Yohanes 4:19, “Kita mengasihi Allah karena terlebih dahulu Allah mengasihi kita” Di dalam Matius 7:21-27 adalah mebicarakan tentang komitmen Kristen (Christian commitment). Menurut Gerald R. McDermott, adanya kuasa ilahi/sumber ilahi, erat kaitannya dengan memiliki kekudusan Allah. Yohanes menulis bahwa, “tidak seorangpun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita… kita telah mengenal dan percaya akan kasih Allah kepada kita” 1 Yohanes 4:12, 16). Kasih Kristus tinggal di dalam diri para saleh (Yoh 17:26).
2. Peserta Didik dibangun untuk Menambah Kapasitas Keimanan ( Mikha 6:8)
Prinsip dasar Pendidikan Kristen adalah menambah kapasitas keimanan peserta didik. Artinya bahwa pendidikan tanpa pembentukan nilai-nilai keimanan, bukanlah pendidikan Kristen. Ada tiga hal yang menjadi dasar pendidikan Kristen membangun perkembangan keimanan yang bertumbuh pada peserta didik. Tiga hal mendasar tersebut adalah adalah akar sebuah keimanan atau kerohanian sejati peserta didik bertumbuh.
a. Keyakinan
Sepintas lalu jika menilai tentang keyakinan, sering disejajarkan dengan pengertian iman. Tetapi perlu dipahami bahwa nilai keyakinan disini bukan hanya sebatas konseptulaisasi, justru penekanannya adalah sebuah aktualisasi. Itulah maksud yang dikatakan “iman tanpa perbuatan hakikatnya mati”. Iman dapat berbuah jika iman itu dipraktekkan. Yokabus 2:17, 19. Iman tanpa perbuatan adalah mati atau iman yang kosong. Iman harus memproduksi karya. Iman adalah proaktif. Keyakinan disini jelas adalah sebuah aktualisasi iman yang bertumbuh berdasarkan pengalaman-pengalaman iman di dalam Kristus, yang nilainya adalah proaktif. “Di dalam Ef 1:15, Paulus membicarakan konsep iman yang menyeluruh. Paulus mengatakan, "iman sejati adalah iman yang harus terkait dengan Kristus (ay. 15). Jika kita bandingkan dengan Ef 4:13, maka tujuan hidup orang percaya adalah sampai kita semua telah mencapai kepenuhan iman. Di sini Paulus menuntut kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah. Kaitan antara iman dengan pengertian yang benar tentang Kristus merupakan dua hal yang tidak bisa dilepaskan. Pengertian iman jika tidak kembali kepada Kristus yang sejati berarti bukan iman Kristen.”
b. Kerendahan Hati
Richard M. Gula S.S. mengatakan bahwa, terlalu sering istilah kerendahan hati dikacaukan dengan bentuk kekecewaan, kesenangan spiritual karena menderita (masokisme spiritual). Maka kerendahan hati menjadi penolakan untuk menegaskan diri sendiri, sikap merendahkan terhadap bakat dan pencapaian seseorang, gairah untuk tidak di kenal, pengeset kaki, sikap menghamba yang tunduk dan taat, kepatuhan tanpa syarat, suatu keengganan untuk memberikan pendapat. Kalau seperti itu disebut kerendahan hati, tidaklah mengherankan bila tak seorangpun ingin memperjuangkan hal itu.
Kerendahan hati – humanlity – dan manusia – human memiliki akar kata yang sama dalam bahasa latinnya, humus. Tuhan mengambil debu tanah, menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya, demikianlah manusia itu menjadi mahkluk yang hidup (Kej. 2:7). Sejak itulah manusia sudah ditetapkan untuk menjadi rendah hati. “Ingatlah bahwa engkau debu tanah, dan kepada debu tanah pula engkau akan kembali”. Kerendahan hati adalah sikap bersahaja terhadap diri sendiri. Kerendahan hati adalah kebijakan dalam menunjukan kejujuran kepada Tuhan tentang diri kita sendiri. Kerendahan hati bukan memiliki bakat namun berusaha mati-matian untuk menyangkalnya, namun menerima secara realistis kemampuan dan keterbatasan, menerima apa yang dapat dan tidak dapat kita lakukan. Kerendahan hati adalah kemauan menjadi diri sendiri dan melakukan apa yang dapat dilakukan dan memandang ketergantungan sebagai sesuatu yang pantas dan sebagai suatu proses perkembangan.

Jadi jelaslah bahwa, kerendahan hati adalah esensi dasar manusia sejak pada penciptaannya. Mencapai komitmen hidup yang total tentu adalah sebuah nilai ketergantungan/penyerahan diri yang murni kepada Allah. Peter G. Van Breemen,”bahwa kerendahan hati itu berarti memperhatikan Allah atau Yesus daripada dirinya sendiri, sedangkan mengarah kepada kemuliaan Allah adalah unsur penentunya
Kondisi kerendahan hati tersebut juga sangat perlu dikerjakan dalam pemahaman menyangkut nilai yang benar dan murni. Kerendahan hati yang murni adalah mutlak melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Artinya kerendahan hati memandang Allah dalam sebuah penyangkalan diri kepada-Nya. Kerendahan hati yang murni adalah lebih banyak mendengarkan Allah daripada banyak berbicara tentang Allah. Orang yang benar-benar memiliki kerendahan hati, segala yang yang ia lakukan mencerminkan kesadaran bahwa ia tidak layak dan merasakan kekerdilan di hadapan Tuhan. Dan kerohanian yang murni adalah dasar semua kebijakan Kristen baik itu komitmet total kepada Tuhan.


c. Ketaatan
Ketaatan adalah nilai proaktif dari iman yang murni. Menambahkan kapasitas keimanan adalah murni sebuah perjumpaan hidup Kristen dengan ketaatan. Dikatakan oleh Gerald R.McDermott, bahwa “Ketaatan adalah bukti terbaik pengetahuan tentang Allah (Titus 1:16). Ketaatan juga bukti terbaik dari pertobatan. “Jadi hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan” (Matius 3:8). Ketaatan adalah bukti terbaik dalam menerima Kristus “… meninggalkan segala sesuatu dan mengikuti Dia” (Luk 5:27-28). Lewi meninggalkan segala sesuatu tatkala Yesus menggilnya. Ketaatan adalah bukti terbaik tentang iman. Yesus berbicara tentang ketaatan adalah buah dari iman. Matius 12:33, “Jika suatu pohon kamu katakan baik, maka baik pula buahnya; jikalau suatu pohon kau katakan tidak baik, maka tidak baik pula buahnya. Sebab dari buahnyalah pohon itu dikenal.” Seorang yang beriman, tetapi jika ia tidak melahirkan perbuatan dari imanya, sama halnya dengan pohon yang tidak di kenal. Komitmen total hidup Kristen tidak akan pernah bersinggungan dangan pohon yang tidak dikenal, karena tidak ada buahnya. Justru komitmen total adalah terlahir dari pangkasan dan potongan-potongan pada ranting yang tidak berbuah, sehingga pohon tersebut dapat menghasilkan buahnya dan dapat dikenal. Dalam Matius 5:16, dikatakan bahwa supaya terangmu bercahaya, prinsipnya hampir sama dengan supaya buahmu itu bisa memperkenal siapa dirimu dan bisa dirasakan oleh orang lain. Selanjutnya ketaatan adalah bukti terbaik dari kasih. Yesus taat sampai mati di kayu salib adalah bukti kasihnya kepada dunia ini. Ketaatan adalah bukti terbaik dari kerendahan hati. Dan akhirnya ketaatan adalah bukti terbaik dari takut akan Tuhan.”
B. Implementasi Aksiologi dalam 5 Komponen Dasar Pendidikan dalam Pendidikan Kristen
Komponen merupakan bagian dari suatu sistem yang memiliki peran dalam keseluruhan berlangsungnya suatu proses untuk mencapai tujuan sistem. Komponen pendidikan berarti bagian-bagian dari sistem proses pendidikan, yang menentukan berhasil dan tidaknya atau ada dan tidaknya proses pendidikan. Bahkan dapat diaktan bahwa untuk berlangsungnya proses kerja pendidikan Berikut akan diuraikan satu persatu komponen-komponen tersebut.
1. Peserta Didik
a. Siapakah Peserta Didik tersebut?
Gangel dan Hendricks (1988) mengemukakan bahwa, jika guru berusaha mengenal peserta didiknya, ia akan tertolong dalam merumuskan tujuan belajar dan dalam merencakan bahan yang relevan atau sesuai dengan kebutuhan perserta didik. Dengan demikian siapakah peserta didik tersebut?
Perkembangan konsep pendidikan yang tidak hanya terbatas pada
usia sekolah saja memberikan konsekuensi pada pengertian peserta didik. Kalau dulu orang mengasumsikan peserta didik terdiri dari anak-anak pada usia sekolah, maka sekarang peserta didik dimungkinkan termasuk juga didalamnya orang dewasa. Mendasarkan pada pemikiran tersebut di atas maka pembahasan peserta didik seharusnya bermuara pada dua hal tersebut di atas. Persoalan yang berhubungan dengan peserta didik terkait dengan sifat atau sikap anak didik dikemukakan oleh Langeveld sebagai berikut, “Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil, oleh sebab itu anak memiliki sifat kodrat kekanak-kanakan yang berbeda dengan sifat hakikat kedewasaan. Anak memiliki sikap menggantungkan diri, membutuhkan pertolongan dan bimbingan baik jasmaniah maupun rohaniah. Sifat hakikat manusia dalam pendidikan ia mengemukakan anak didik harus diakui sebagai makhluk individu dualitas, sosialitas dan moralitas. Manusia sebagai mahluk yang harus dididik dan mendidik. Sehubungan dengan persoalan anak didik disekolah Amstrong (1981) mengemukakan beberapa persoalan anak didik yang harus dipertimbangkan dalam pendidikan. Persoalan tersebut mencakup apakah latar belakang budaya masyarakat peserta didik ? bagaimanakah tingkat kemampuan anak didik ? hambatan-hambatan apakah yang dirasakan oleh anak didik disekolah ? dan bagaimanakah penguasaan bahasa anak di sekolah ? Berdasarkan persoalan tersebut perlu diciptakan pendidikan yang memperhatikan perbedaan individual, perhatian khusus pada anak yang memiliki kelainan, dan penanaman sikap dan tangggung jawab pada anak dididik.



b. Pemetaan Aksiologi terhadap Peserta Didik dalam Pendidikan Kristen
Pemahaman utama mengenai peserta didik yang perlu terus ditingkatkan oleh guru ialah kedudukan mereka sebagai mahluk religious. Human Development Learning and Teaching (1961) menekankan bahwa guru dalam perspektif pendidikan Kristen harus memiliki pemahaman yaitu anak didik bukanlah semata-mata mahluk biologis, sosiologis dan cultural, melainkan terutama sebagai insane religious (relegius being). Anak didik mempunyai potensi dan kerinduan untuk berelasi dengan Tuhan, Penciptanya. Hal ini sesuai dengan penjelasan Alkitab bahwa manusia diciptakan Allah menurut gambar dan rupaNya (Kej. 1:26-27).
Dalam hal ini, pembelajaran Aksiologi harus diterjemahkan dengan konsep pendidikan Kristen yang berperan banyak untuk menanamkan pemahaman dan nilai-nilai religious, termasuk sikap bersyukur, hormat, dan taat kepada Tuhan serta kasih, kepeduliaan dan keramahan terhadap sesama. Hal ini erat kaitannya dengan peran guru dalam hal memberi dorongan dan membangkitakan minat peserta didik. Yang semuanya dipahami sebagai wilayah dimana peserta didik memiliki kebutuhan religious yang ingin dipenuhkan.



2. Pendidik
a. Siapakah Pendidik tersebut?
Salah satu komponen penting dalam pendidikan adalah pendidik. Terdapat beberapa jenis pendidik dalam konsep pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang tidak terbatas pada pendidikan sekolah saja. Ditinjau dari lembaga pendidikan munculah beberapa individu yang tergolong pada pendidik. Guru sebgai pendidik dalam lembaga sekolah, orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga, dan pimpinan masyarakat baik formal maupun informal sebagai pendidik dilingkungan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut diatas Syaifullah (1982) mendasarkan pada konsep pendidikan sebagai gejala kebudayaan, yang termasuk kategori pendidi adalah 1) orang dewasa, 2) orang tua, 3) guru/pendidik, dan 4) pemimpin kemasyarakatan, dan pemimpin keagamaan. Pertama, pendidika adalah Orang Dewasa. Orang dewasa sebagai pendidik dilandasi oleh sifat umum kepribadian orang dewasa, sebagaimana dikemukakan oleh Syaifullah adalah sebagai berikut : (1) manusia yang memiliki pandangan hidup prinsip hidup yang pasti dan tetap, (2) manusia yang telah memiliki tujuan hidup atau cita-cita hidup tertentu, termasuk cita-cita untuk mendidik, (3) manusia yang cakap mengambil keputusan batin sendiri atau perbuatannya sendiri dan yang akan dipertanggungjawabkan sendiri, (4) manusia yang telah cakap menjadi anggota masyarakat secara konstruktif dan aktif penuh inisiatif, (5) manusia yang telah mencapai umur kronologis paling rendah 18 th, (6) manusia berbudi luhur dan berbadan sehat, (7) manusia yang berani dan cakap hidup berkeluarga, dan (8) manusia yang berkepribadian yang utuh dan bulat.
Kedua, pendidika adalah Orang Tua. Kedudukan orang tua sebgai pendidik, merupakan pendidik yang kodrati dalam lingkungan keluarga. Artinya orang tua sebagai pedidik utama dan yang pertama dan berlandaskan pada hubungan cinta-kasih bagi keluarga atau anak yang lahir di lingkungan keluarga mereka. Kedudukan orang tua sebagai pendidik sudah berlangsung lama, bahkan sebelum ada orang yang memikirkan tentang pendidikan. Secara umum dapat dikatan bahwa semua orang tua adalah pendidik, namun tidak semua orang tua mampu melaksanakan pendidikan dengan baik. Sebagaimana telah dikemukakan dalam bahasan di atas, bahwa kemampuan untuk menjadi orang tua sama sekali tidak sejajar dengan kemampuan untuk mendidik.
Ketiga, pendidik adalah Guru/Pendidik di Sekolah. Guru sebagai pendidik disekolah yang secara lagsung maupun tidak langsung mendapat tugas dari orang tua atau masyarakat untuk melaksanakan pendidikan. Karena itu kedudukan guru sebagai pendidik dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan baik persyaratan pribadi maupun persyaratan jabatan. Persyaratan pribadi didasrrkan pada ketentuan yang terkait dengan nilai dari tingkah laku yang dianut, kemampuan intelektual, sikap dan emosional. Persyaratan jabatan (profesi) terkait dengan pengetahuan yang dimiliki baik yang berhubungan dengan pesan yangingin disampaikan maupun cara penyampainannya, dan memiliki filsafat pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Keempat, pendidik adalah Pemimpin Masyarakat dan Pemimpin Keagamaan. Selain orang dewasa, orang tua dan guru, pemimpin masyarakat dan pemimpin keagamaan merupakan pendidik juga. Peran pemimpin masyarakat menjadi pendidik didasarkan pada aktifitas pemimpin dalam mengadakan pembinaan atau bimbingan kepada anggota yang dipimpin. Pemimpin keagaam sebagai pendidik, tampak pada aktifitas pembinaan atau pengembangan sifat kerokhanian manusia, yang didasarkan pada nilai-nilai keagamaan.
b. Pemetaan Aksiologi terhadap Pendidik dalam Pendidikan Kristen
Berkaitan dengan pendidikan Kristen di sekolah maupun gereja, disamping tugasnya secara umum sebagai guru, hal yang prinsip ia juga berperan sebagai pemberita Injil. Kepada Timotius Paulus mengemukakan bahwa, di dalam melayani Tuhan melalui jemaat, ia telah melakukan perannya sebagai pemeberita Injil, sebagai rasul dan sebagai guru. Dalam hakikatnya sebagai pendidik, guru harus mengerjakan tugas dan panggilannya di dalam dua belas yaitu, sehubungan dengan tugasnya sebagai 1) pendidik, 2) pengajar dan pembelajar, 3) pelatih, 4) fasilitator, 5) motivator, 5) pemimpin, 7)komunikator, 8) agens sosial 9) pembimbing, 10) pemberita Injil, 11) imam dan nabi, 12) sebagai teolog.
Pertama, sebagai pendidik. Sebagai pendidik, guru menuntun peserta didik berpindah dari satu tahap kehidupan ke tahapan berikutnya. Keluar dari kegelapan ke dalam terang, serta lepas dari kebodohan dan beralih ke kehidupan yang cerdas dan berhikmat. Kedua, sebagai pengajar dan pembelajar, guru berperan sebagai pendidik yang mampu menggali potensi diri semaksimal mungkin guna semakin professional dalam mengolah, memadukan dan mengaplikasikan materi ajar kepada peserta didik. Ketiga sebagai pelatih. Sebagai pelatih, pendidik harus mampu belajar menjadi pribadi yang sabar, tekun, serta harus menumbuhkan ketelitian dan kecermatan. Di dalam pimpinan roh Kudus dan dalam kekudusan hidupnya, pendidik mampu menuntun, memberikan hikmat, dan pengertian serta kebenaran dan kemampuan kepada peserta didik. Sebagai fasilitator, dituntut untuk mampu menciptakan segala hal yang berkaitan dengan kesuksesan dirinya dan perseta didiknya. Sebagai motivator, ia mampu menyiapkan, menyajikan dan memfasilitasi kegiatan pembelajaran sehingga berdampak luarbiasa bagi peserta didik. Sebagai pemimpin, tahu dan pandai membangun relasi dan menempatkan dirinya pada dua spectrum penting yaitu, pengutamaan relasi dan pencapaian tujuan. Sebagai komunikator, pendidik harus melihat secara obyektif kekurangan dan kelebihan peserta didik, serta memberikan waktunya untuk mengerjakan pendamaian dan pemulihan. Sebagai agen social guru harus membangun dan mengembangkan nilai kerja sama dalam tim. Ia patut memampukan peserta didik untuk menerima keanekaragaman karya dan prakarsa di dalam komunitas pembelajaran. Sebagai pembimbing, mendengar kegelisahan peserta didiknya, lalu bersama-sama mencari upaya mengatasinya dalam terang firman Tuhan serta pertolongan Roh Kudus. Sebagai pemberita Injil, ia dapat menjelaskan Injil melalui pendekatan pribadi dan atau kelompok yaitu memberitahukan kesaksian Alkitab mengenaio fakta bahwa manusia itu berdosa sehingga terhukum, berada dalam maut diperbudak hawa nafsu serta mengalami penympangan moral. Tepai melalui kkematian Yesus di salib, dan oleh kebangkitanNya dari kematian, Allah menyatakan kasih dan anugerahnya. Sebagai iman dan nabi, ia adalah mediator Allah untuk melakukan dan menyatakan kebenaran di dalam hidup dan tanggung jawabnya. Sebagai teolog, ia harus melihat bahwa kegiatan mengajar yang dilakukannya adalah wadah mempertajam kemampuan dirinya dan peserta didiknya. Tugas mengajar bagi pendidik Kristen dalam PAK, adalah panggilan berteologi secara praktis.
Dengan demikian jelaslah bahwa, berdasarkan tugas-tugas guru tersebut, terdapat hubungan yang kuat antara perilaku guru dengan keyakinannya:,
a. Keyakinan mengenai pengajaran dan pembelajaran.
Komponen penting filsafat pendidikan seorang guru adalah bagaimana memandang pengajaran dan pembelajaran, dengan kata lain, apa peran pokok guru? Apakah dalam pembelajaran, hanya menekankan pengalaman-pengalaman dan kognisi siswa, ataukah juga menekankan pada perilaku siswa?
b. Keyakinan mengenai siswa.
Akan berpengaruh besar pada bagaimana guru mengajar. Seperti apa siswa tersebut seperti yang guru yakini, itu didasari pada pengalaman kehidupan unik guru. Pandangan negatif terhadap siswa menampilkan hubungan guru-siswa pada ketakutan dan penggunaan kekerasan tidak didasarkan kepercayaan dan kemanfaatan. Guru yang memiliki pemikiran filsafat pendidikan mengetahui bahwa anak-anak berbeda dalam kecenderungan untuk belajar dan tumbuh.
c. Keyakinan mengenai pengetahuan.
Berkaitan dengan bagaimana guru melaksanakan pengajaran. Dengan filsafat pendidikan, guru akan dapat memandang pengetahuan secara menyeluruh, tidak merupakan potongan-potongan kecil subyek atau fakta yang terpisah.
d. Keyakinan mengenai apa yang perlu diketahui.
Guru menginginkan para siswanya belajar sebagai hasil dari usaha mereka, sekalipun masing-masing guru berbeda dalam meyakini apa yang harus diajarkan.
Dalam dunia pendidikan penerapan aksiologi sangat erat kaitannya dengan pembangunan karakter hidup manusia. Pendidikan tanpa pembentukan moral dan etika sesungguhnya pendidikan tersebut lumpuh adanya. Meskipun pendidikan memberi ruang seluasnya kepada peningkatan ilmu pengetahuan tetapi aksiologi justru mengisi ilmu pengetahuan tersebut dengan jiwa dari pendidikan tersebut yaitu nilai-nilai kebenaran, kebaikan yang menyangkut etika dan moral.



3. Kurikulum
a. Apakah Kurikulum Pendidikan tersebut?
Organisasi kurikulum di sini merupakan kerangka umum program pendidikan yang akan disampaikan kepada siswa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Beberapa jenis organisasi kurikulum tersebut antara lain subject curriculum merupakan kurikulum yang direncanakan berdasarkan disiplin akademik sebagai titik tolak mencapai ilmu pengetahuan correlated curriculum yang mencoba mengadakan integrasi dalam pengetahuan peserta didik, integrated curriculum yang mencoba menghilangkan batas-batas antara berbagai mata pelajaran, core curriculum dan lainnya.
Pada dasarnya semua pola organisasi tersebut baik, namun paling tidak dari yang baik tersebut bisa diambil yang paling baik. Yang jelas bahwa kurikulum pendidikan harus integratif, atau setidak-tidaknya korelatif, yang tidak memisahkan antara ilmu pengetahuan dengan wawasan keagamaan.
Namun yang perlu dimengerti bahwa beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum memunculkan terjadinya keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum. Dari pandangan tersebut, setidaknya terdapat enam ragam pengorganisasian kurikulum, yaitu:
1. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada waktu tertentu dan tidak mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua materi diberikan sama
2. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkorelasi guna memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu.
3. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran. Salah satu mata pelajaran dapat dijadikan “core subject”, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core tersebut.
4. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum yang menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
5. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit masalah, dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan secara terintegrasi.
6. Eclectic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik.
b. Pemetaan Aksiologi terhadap Kurikulum dalam Pendidikan Kristen
Pendidikan Krisen naturnya adalah pembangunan karakter hidup takut akan Tuhan. Mengerjakan nilai-nilai pembelajaran yang berorientasi pada pengenalan Allah melalui berbagai disiplin ilmu atau mata pelajaran di sekolah. Berkenaan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kalau ditinjau dalam pendidikan Kristen, tampaknya lebih cenderung menggunakan pengorganisasian yang bersifat eklektik, yang terbagi ke dalam lima kelompok mata pelajaran, yaitu : (1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) kelompok mata pelajaran estetika; dan (5) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan. Namun perlu ditegaskan bahwa, kelompok-kelompok mata pelajaran tersebut selanjutnya harus dijabarkan lagi ke dalam sejumlah mata pelajaran tertentu, yang disesuaikan dengan jenjang dan jenis sekolah. Di samping itu, untuk memenuhi kebutuhan lokal disediakan mata pelajaran muatan lokal serta untuk kepentingan penyaluran bakat dan minat peserta didik disediakan kegiatan pengembangan diri, karakter dan pedewasaan hidup.
Dalam pendidikan Kristen, sebuah kurikulum yang efektif harus dibangun berdasarkan prinsip- prinsip dan stuktur sbb.:
a. Dasar Alkitab
Alkitab adalah sumber yang menyediakan semua subyek/topik/ prinsip iman Kristen yang penting untuk diajarkan kepada anak- anak didik. Oleh karena itu inti kurikulum berpusat pada Alkitab, yang adalah Firman yang diinspirasikan oleh Allah sendiri. Selain itu Alkitab juga menjadi tolok ukur untuk menghakimi semua kebenaran atau pengalaman yang diintegrasikan di dalam materi kurikulum.
b. Dasar Berita Kristologis
Walaupun Alkitab telah menyediakan seluruh isi kurikulum, perlu diingat bahwa berita kebenarannya adalah berpusat pada Pribadi Yesus Kristus. Oleh karena itu kurikulum harus memberitakan dengan jelas keselamatan yang berpusatkan pada pribadi Yesus Kristus.
c. Dasar Kebutuhan Anak
Memang Alkitab "bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran" (baca: 2Timotius 3:16), namun tidak semua kebenaran tsb. relevan dengan kebutuhan setiap kelompok umur anak. Oleh karena itu kurikulum yang baik harus disusun berdasarkan kebutuhan kelompok umur sehingga sesuai dengan perkembangannya.
d. Dasar Pendidikan yang Tepat
Kurikulum yang efektif harus sesuai dengan pengetahuan kita tentang bagaimana cara anak-anak didik belajar. Dengan mengkombinasikan pengetahuan tsb. tujuan mengajarkan kebenaran akan lebih mudah tercapai karena kita tahu apa yang memotivasi anak belajar dan bagaimana cara mereka belajar paling baik.
e. Dasar Ketepatan Aplikasi
Mengajarkan pengetahuan kebenaran Alkitab saja masih kurang, karena tujuan utama Allah memberikan Firman-Nya adalah untuk mengubah hidup manusia. Oleh karena itu kurikulum juga harus dapat mendorong dan menolong anak untuk dapat meresponi kebenaran yang telah diberikan sehingga mereka menjadi "pelaku Firman dan bukan hanya pendengar saja" (baca: Yakobus 1:22).

4. Metode
a. Apakah Metode Pembelajaran tersebut?
Metode dapat diartikan sebagai "teknik", "cara", atau "prosedur". Setiap kegiatan mengajar memerlukan metode yang tepat dan relevan untuk mencapai tujuan. Karena itu, persiapan mengajar dengan target dapat menghasilkan rencana pengajaran, guru harus memikirkan metode secara seksama.
b. Pemetaan Aksiologi terhadap Metode Pembelajaran dalam Pendidikan Kristen
Pengaplikasian pembelajaran aksiologi terhadap metode dalam pendidikan Kristen dapat dikaji di dalam tiga pertanyaan penting:

Memikirkan soal metode mengajar sangatlah penting dalam tugas pedidikan dan pengajaran karena Yesus Sang Guru Agung telah memberikan teladan keguruan sebagaimana dijelaskan oleh Kitab Injil. Di antara Yesus dengan murid-murid-Nya senantiasa terjadi interaksi dialogis. Lawrence O. Richards, dalam "A Theology of Christian Education" (1975, h.31), meringkaskan interaksi antara Yesus dengan murid-murid-Nya sebagai berikut:






Selalu ada tingkat, jenis serta penekanan tertentu dalam proses belajar sebagai tujuan akhir dari hal-hal yang ingin dicapai oleh guru. Sudah tentu hal itu turut berpengaruh atas pemilihan dan penetapan metode. Pertama, Jika proses belajar ingin menekankan segi peningkatan pengetahuan dan pengertian peserta didik, maka sudah tentu guru perlu memperhatikan prinsip-prinsip dan pendekatan berikut:
1. Tekanan diberikan pada keaktifan berpikir (menalar), atau upaya mempertimbangkan dan memahami.
2. Melibatkan pancaindera dalam kegiatan belajar.
3. Selalu diberi upaya untuk mengemukakan apa yang dibahas sekarang ini dan yang dibicarakan untuk waktu yang akan datang. Dengan begitu peserta didik mengetahui kesinambungan kemajuan belajarnya.
4. Tafsirkanlah konsep, ide, gagasan secara kontekstual. Penjelasan terhadap konsep, ide atau gagasan harus diberikan secara jelas dan tuntas. Hal ini dapat mempermudah peserta didik dalam membentuk dan mengembangkan konsepnya sendiri.
5. Mengemukakan relevansi prinsip dan gagasan terhadap situasi yang dihadapi. Jika peserta didik selalu dapat melihat keterkaitan dari apa yang dipelajari dengan kebutuhan dan situasi yang sedang dihadapi, maka proses transfer dalam belajar dapat dikatakan sudah terjadi.
Kedua, Jika tekanan diberikan kepada pencapaian segi-segi nilai dan moral, maka guru perlu memperhatikan prinsip-prinsip belajar berikut:
1. Tekankan contoh-contoh yang konkret dan kontekstual.
2. Gunakan sumber-sumber otoritatif, seperti biografi, dan ruang kesaksian atau berbagi rasa.
3. Identifikasi dengan kondisi dan tokoh tertentu, seperti melalui metode drama, pembacaan puisi, atau sorotan terhadap biografi.
4. Aktifkan refleksi pribadi, klarifikasi nilai (penjelasan tanpa mempertanyakan soal "mengapa") dan diskusi kelompok.

5. Hasil Akhir
a. Apakah Hasil Akhir Pendidikan tersebut?
Tingkah laku manusia, secara sadar maupun tidak sadar tentu berarah pada tujuan. Demikian juga halnya tingkah laku manusia yang bersifat dan bernilai pendidikan. Keharusan terdapatnya tujuan pada tindakan pendidikan didasari oleh sifat ilmu pendidikan yang normatif dan praktis. Sebagai ilmu pengetahuan normatif , ilmu pendidikan merumuskan kaidah-kaidah; norma-norma dan atau ukuran tingkahlaku perbuatan yang sebenarnya dilaksanakan oleh manusia. Sebagai ilmu pengetahuan praktis, tugas pendidikan dan atau pendidik maupun guru ialah menanamkam sistem-sistem norma tingkah-laku perbuatan yang didasarkan kepada dasar-dasar filsafat yang dijunjung oleh lembaga pendidikan danpendidik dalam suatu masyarakat (Syaifulah, 1981). Langeveld mengemukakan bahwa pandangan hidup manusia menjiwai tingkah laku perbuatan mendidik. Tujuan umum atau tujuan mutakhir pendidikan tergantung pada nilai-nilai atau pandangan hidup tertentu. Pandangan hidup yang menjiwai tingkahlaku manusia akan menjiwai tingkahlaku pendidikan dan sekaligus akan menentukan tujuan pendidikan manusia.
b. Pemetaan Aksiologi terhadap Hasil Akhir dalam Pendidikan Kristen
Hasil Akhir dari proses pendidikan Kristen seharusnya mengacu pada penemuan mandiri peserta didik pada tujuan kehidupan itu sendiri. Pendidikan yang membangun peserta didik pada kekuatan akal semata, tidak didasarkan juga pada kekuatan kerohanian, maka hasil akhir dari pendidikan tersebut bias dari harapan lahirnya generasi-generasi yang berkepribadian utuh. Pembelajaran aksiologi justru inheren dengan tujuan utama pendidikan Kristen yaitu untuk mengajar anak-anak takut akan Tuhan, hidup menurut jalan-Nya, mengasihi-Nya, dan melayani-Nya dengan segenap hati dan jiwa mereka (Ulangan 10:12). Penanaman nilai takut akan Tuhan inilah memiliki hubungan yang signifikan dengan pemikiran aksiologi dalam penerapan pembelajaran berupa pencapaian hidup did lam takut akan Tuhan. Berlainan dengan pendidikan oleh dunia yang bertujuan untuk menciptakan generasi muda yang penuh ambisi untuk sukses, mandiri, dan percaya pada kekuatan diri sendiri, pendidikan Kristen mendidik anak-anak untuk memiliki sikap mementingkan Tuhan di atas segala-galanya, taat pada Tuhan, dan bergantung pada kekuatan Tuhan untuk terus berkarya. Nilai-nilai yang penting dalam pendidikan Kristen adalah kasih, ketaatan, kerendahan hati, dan kesediaan untuk ditegur.



















BAB V
KESIMPULAN

1. Mengapa pendidikan harus didasarkan pada pembelajaran aksiologi?
Sebagai bagian dari cabang ilmu filsafat, aksiologi (ilmu tentang nilai) memegang peranan sangat penting di dalam segala cabang filsafat ilmu lainya. Bidang axiologi inilah yang berperan penting untuk melanggengkan ide filsafat tersebut di abad 17-an. Dalam pembahasan axiology, kebenaran menjadi objek logika dan metodologi filsafat ilmu yang berusaha menjelaskan syarat-syarat yang harus di miliki agar sebuah konsepsi di katakan benar. Patut digarisbawahi bahwa dalam bidang aksiologi tidak dikaji sesuatu “bagaimana adanya” tetapi mengkaji sesuatu “bagaimana seharusnya”, dengan berpatokan kepada kebenaran yang “aksiologi” definisikan. Dengan demikian disadari atau tidak, jika berupaya untuk berfilsafat maka sesungguhnya “jebakan” yang perlu diketahui adalah konsep kebenaran yang aksiologi definisikan. Artinya bahwa, segala sesuatu harus mengikuti norma kebenaran filsafat. Oleh karena salah satu dasar permasalahan dalam aksiologi adalah bagaimana membuat norma kebenaran yang menjadi takaran pemikiran yang benar, bagi prilaku yang baik, termasuk juga di dalam dunia pendidikan.


2. Sejauhmana Aksiologi sebagai filsafat nilai bermanfaat dalam dunia pendidikan, khusus dalam pendidikan Kristen?
Aksiologi menjadi tuntutan mendasar baik secara filosofis maupun praksis dalam dunia pendidikan. Jika aksiologi dikaitkan dengan kegunaan ilmu, maka aksiologi adalah ilmu terikat dengan nilai-nilai. Maka dari itu dalam memanfaatkan atau menggunakan ilmu hendaknya berlandaskan kepada etika moral sebagai landasan normatifnya. Di samping itu pendidikan sebagai fenomena kehidupan sosial, kultural dan keagamaan tidak dapat lepas dari sistem nilai. Dalam masalah etika dan estetika yang mempelajari tentang hakekat keindahan, juga menjadi sasaran pendidikan, karena keindahan merupakan kebutuhan manusia dan melekat pada setiap makhluk. Di samping itu jika dikaitkan dengan pendidikan Kristen, justru disinilah letak tanggung jawab vital pendidikan Kristen yaitu membentuk pribadi-pribdi peserta didik memiliki kekuatan karakter dalam hal etika Kristen yang benar dan dlam tanggung jawab imannya sebagai saksi Kristus. Pendidik Kristen tidak dapat lepas dari sistem nilai tersebut.
3. Bagaimanakah seharusnya metode atau model pengimplementasian aksiologi di dalam berbagai komponen dalam pendidikan, khususnya dalam pendidikan Kristen?
Fenomena pendidikan adalah paduan antara manusia sebagai fakta dan manusia sebagai nilai. Tiap manusia memiliki nilai tertentu sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai individual, sosial dan bobot moral.
Pendidikan dalam prinsip dasarnya adalam pengimplementasian nilai-nilai hidup kedalam berbagai komponen pendidikan. Pendidikan sebagai proses harus dibangun secara proforsional. Proses mendidik tersebut sangat berkenaan dengan metode terbaik yang harus dilakukan dengan cara terbaik. Metode pendidikan tidak hanya didasarkan pada psikologi, tetapi juga sifat fisik, mental dan sosial dari bahan ajar dan anak yang dididik. Oleh karena itu, dibutuhkan jiwa seni dalam mendidik sehingga anak yang dididik dapat terbentuk jiwa seninya dalam menghadapi kehidupan mereka di masa depan. Itu sebabnya pendidikan dalam prakteknya adalah fakta empiris yang syarat nilai dan interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat manusiawi. Untuk mencapai tingkat manusiawi itulah pada intinya pendidikan bergerak menjadi agen pembebasan dari kebodohan untuk mewujudkan nilai peradaban manusiawi.











DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Barnadib, Imam, Filsafat Pendidikan Pengantar Mengenai Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Offset, 1990.
Butler, J. Donald, Four Philosophies, And their Practice in Educational and Religion, New York: Harper & Brother Publisher, 1957.

Chang, Eric H.H., Totally Committed, Denpasar: YPN, Cahaya Pengharapan Ministry: 2001.

Clark, Robert E., Brubaker, Joanne, & Zuck, Roy B. Childhood Education in
the Church, Chicago: Moody Press, , 1986.

Dewey, John, Democracy and Education, New York: The Macmillan Company, 1916.

Frondizi, Riseri, What is Value, An Introduction to Axiology, Publihsing Company, USA, 1963.

Gula S.S, Richard M., The Good Life/Kehidupan Baik, Di mana moralitas dan spiritualitas bertemu, Batam Centre, PO Box. 238: Santo Press, 2001.

Indar, Djuberansyah Filsafat Pendidikan. Surabaya: Karya Abdi Tama, 1994.

Jalaludin, H., & Idi, Abdulah, Filsafat Pendidikan, Manusia, Filsafat dan Pendidikan, Jogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2009.

Kattsoff, Louis, Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.

Kneller, George F., Introduction to The Philosophy of Education, New York: Jhon
Wiley & Sons, Inc. 1971.

Manab, Abdul, Pengembangan Kurikulum, Tulungagung, Kopma IAIN Sunan Ampel,
1995.

Mahfud, Choirul, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Maarif, Ahmad Syafii, Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat. dalam Jurnal Pendidikan Islam, No. 1 Th.I/Oktober 1996.

McDermott, Gerald R., Menggali 12 Tanda Kerohanian Sejati, Yogyakarta: Yayasan
Andi, 2001.

Pranarka, AMW Epistomologi Dasar: suatu Pengantar, (Jakarta: Yayasan
proklamasi, 1987.

Russel, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, Kaitannya dengan kondisi sosio-politik
zaman kuno hingga sekaran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Rahkman, Maman, Filsafat Ilmu, Semarang: UPT MKU U Negeri Semarang, 2009.
Sadulloh, Uyoh Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: ALFABET, 2008.

Sadulloh, Uyoh Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: ALFABETA, 2008.8.

Sidjabat, B. Samuel, Srategi Pendidikan Kristen, Suatu tinjauan Teologis Filosofis,
Yogyakarta: Yayasan ANDI, 1999.

Sidjabat, B.S., Mengajar Secara Profesional, Mewujudkan Visi Guru Profesional,
Bandung: Kalam Hidup, 2009.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1996.

Situmorang, Jonar, Filsafat dalam Terang Firman Tuhan, Yogyakarta: ANDI, 2004.

Saifullah, Ali, Antara Filsafat dan Pendidikan, Pengantar Filsafat Pendidikan,
Surabaya: Usaha Nasional, ______.

Salam, Burhanuddin, Pengantar Pedagogik; Dasar-dasar Ilmu Mendidik Jakarta:
Rineka Cipta, 1997.

Suriasumantri, Jujun S., Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan tentang
Hakekat Ilmu. Jakarta. Penerbit Yayasan obor Indonesia dan Leknas – LIPI,
1984.

Syam, M. Noor, Filsafat Pendidikan dan Dasar Fisafat Pancasila, Surabaya: Usaha
Nasional, 1988.

Syaripudin, Tatang, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Percikan Ilmu, 2008.
Tilaar, H.A.R., Kekuasaan dan Pendidikan, Managemen Pendidikan Nasional
dalam Pusaran Kekuasaan, Jakarta: Reneka Cipta, 2009.

Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo, Pengantar Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Yamin, Moh, Menggugat Pendidikan Indonesia, Jogjakarta: AR RUZZMEDIA, 2009.

Wilson, Douglas, Recovering The Lost Tools of Learnin; An approach to Distinctively Christian Education, Turning Point Christian World View.
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: PT Bayu Indra Grafika,
2000.

Internet:
http://pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_12.html
Pdt. Sutjipto Subeno, Elemen-elemen Pertumbuhan Iman Kristen, dikutip dari www.griis.org/ringkasan_kotbah/2004/20040919.htm

http://e1doumy.blogspot.com/2009/01/kapitalisasi-pendidikan-terus-berlanjut.html

http://qym7882.blogspot.com/2009/03/komponen-komponen-pendidikan.html

Gede Kirtana Yoga, Pendidikan Di Indonesia, antara Pembebasan dan Kapitalis Materialistis, http://www.kmhdi.org/index.php?app=artikel&page=read&id=23,
Webster's New World Dictionary, 2nd Edition http://www.cleardirection.com/docs/axiology.asp

http://fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran-rekonstruksionisme.html
http://gurupemula.co.cc/tag/etika-pendidikan/
http://gurupemula.co.cc/tag/etika-pendidikan/
http://forum.detik.com. Bandingkan juga dalam sayapbarat.wordpress.com/2007/08/29/masalah-pendidikan-di-indonesia.
http://denovoidea.wordpress.com/2009/02/23/hubungan-filsafat-dan-pendidikan/
http://putra_lagisedih.blog.plasa.com/2008/07/12/filsafat-pendidikan/
http://fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran-rekonstruksionisme.html
http://em-ge.blogspot.com/2009/11/aliran-rekontruksi.html