Daftar Blog Saya

Senin, 18 Oktober 2010

TEOLOGI SUKSES: Sebuah Studi Kritis

Oleh: I Made Suardana




Pendahuluan
Perkembangan zaman senantiasa ditandai dengan berbagai perubahan. Hal yang mendasar dari perubahan adalah munculnya berbagai tuntutan hidup yang seirama dengan perubahan tersebut. Perubahan mengubah manusia secara perlahan namun pasti, mulai dari mengubah cara pandang yang akhirnya berdampak pada perubahan perilaku. Perubahan perilaku manusia seringkali berupa perjuangan manusia untuk mencari jati dirinya, membangun pencapaian dirinya untuk bisa sejalan dengan perkembangan yang ada. Istilah trendy atau up to date seringkali menjadi tujuan utama pencarian manusia disamping untuk pencapain harga diri dan kemakmuran. Semua itu tanpa disadari telah membentuk watak manusia menjadi manusia yang konsumtif dan materialistis. Tuntutan hidup bukan lagi didasarkan pada kebutuhan, tetapi lebih kepada gengsi dan prestise. Hal tersebut akhirnya memunculkan pergolakan sosial, yang kemudian berkembang menjadi pergolakan spiritualitas. Artinya bahwa ditengah kesulitan manusia memenuhi tuntutan hidupnya, manusia kemudian menjadikan agama sebagai sarana atau alat untuk memenuhi tuntunan hidup. Agama dieksploitasi guna memperkaya diri, guna memuluskan kekuasaan atau meraih kekuasaan. Dalam kekristenan sesungguhnya tidak jauh berbeda. Keimanan seseorang terus berkembang seiring dengan pemikiran-pemikiran yang melatarbelakangi pemetaan teologi seseorang. Artinya bahwa, nilai keberimanan seseorang adalah seiring dengan bagaimana ia membangun keyakinan teologisnya. Sejarah mencatat bahwa abad demi abad, pemikiran Kristenpun terus berkembang melahirkan bermacam-macam teologi sebagai sebuah pendekatan manusia memahami Tuhannya dan hubungan dirinya dengan Tuhannya. Namun dalam perkembangan kemudian, berbagai tuntutan dan kebutuhan hidup manusia pun tanpa disadari akhirnya melandasi pijakan teologinya, bukan lagi bersumber pada otoritas Allah. Manusia yang terjebak dalam ambisi kekayaan, kesuksesan, kekuasaan, akhirnya membangun teologinya didasarkan pada ambisi tersebut. Tidak sedikit para pendeta pada tidak menyadari bahwa hal tesebut adalah tindakan pengkhianatan terhadap otoritas dalam berteologi. Tuntutan pencapaian diri dalam kesuksesan dan kemakmuran itulah juga yang mendorong beberapa teolog kemudian menjadikan kekayaan dan kesuksesan tersebut fokus teologi mereka, seperti munculnya gerakan teologi sukses di Amerika yang merambah Asia yaitu pertama-tama di Korea selatan juga melanda Indonesia. Desakan liberalism, materialism dan konsumerisme yang menandai abad modern ini, telah menempatkan manusia terus bergerak ke arah pencapaian diri/pemenuhan diri yang lebih baik dan lebih terjamin. Akhirnya manusiapun terjebak mengubah cara pandang, makna spiritualitasnya dan tujuan hidupnya. Berbagai tuntutan hidup seringkali bangunan teologi mereka justru menempatkan Allah sebagai obyek pelaksana dari klaim-klaim teologi mereka. Padahal seharusnya Allah lah subyek yang menentukan dan menyatakan segalanya dalam bentangan kedaulatan dan kemurahanNya. Kedok kerohanian yang sering dipakai manusia untuk mendapatkan kekayaan, kesuskesan dan kekuasaan sesungguhnya adalah wujud dari telah terhisabnya manusia ke dalam gerakan zaman baru yang identik dengan gerakan teologi sukses. Secara khusus dalam tulisan ini selanjutnya akan dibahas lebih mendalam tentang apa itu teologi sukses.

A. Pengertian dan Sejarah Teologi Sukses
1. Pengertian Teologi Sukses
Smith menempatkan teologi sukses pada dua karakteristik mendasar yaitu, teologi harga diri dan teologi kemakmuran. Pertama, yang dimaksud teologi harga diri (self-esteem) adalah teologi yang dikembangkan oleh Robert Schuller , yang bercermin pada dari dan pengalaman hidupnya untuk membentuk harga diri yang positif dan sehat, dengan mengembangkan kekuatan pikiran positif (positive thinking). Schuller, mendefinisikan harga diri sebagai kehendak Allah yang mulia, bahwa Allah menghendaki agar anugerah bawaan yaitu perasaan di dalam diri ini diciptakan dalam gambar Allah. Teologi harga diri Schuller dibangun di dalam kerinduan untuk menjangkau orang-orang yang tidak bergereja. Ia berpendapat bahwa, teologi pada saat sekarang ini, sungguh tidak menjangkau mereka. Karena teologi yang saat ini dikembangkan adalah teologi yang diwarisi dari teologi Barat dimana kekristenan menjadi kekuatan utama. Akibatnya gereja cenderung dipenuhi dengan doktrin, maka dari itu gereja harus dirubah agar fokus kepada kebutuhan-kebutuhan mendasar manusia yang tanpa membedakan keberadaannya. Kepentingan dari teologi harga diri(self-esteem) ini pada prinsipnya sama dengan gerakan positive thinking yang dipopulerkan melalui gerakan Pengembangan Pribadi. Pada prinsipnya gerakan-gerakan Pengembangan Pribadi itu mengajak orang-orang untuk menyadari kemampuan pikiran dan batinnya yang tidak terbatas untuk mencapai kehidupan yang damai, sukacita, cinta, sukses dan kelimpahan bumi ini.
Kedua, teologi Kemakmuran, yaitu teologi yang menempatkan kehidupan umat atau orang percaya di dalam kehidupan yang sangat diberkati kesehaan dan keuangannya, kelimpahan materi adalah klaim dari teologi kemakmuran. Kemakmuran dalam hal kelimpahan materi adalah wujud dari kehidupan beriman yang diberkati.
Ir. Herlianto, M.Th dalam bukunya mengenai teologi sukses, mendefinisikan teologi sukses sebagai teologi yang menekankan bahwa Allah adalah Allah yang maha besar, kaya dan penuh berkat dan manusia yang beriman pasti akan mengalami hidup yang penuh berkat pula, kaya, sukses dan berkelimpahan materi. Dengan demikian teologi ini menempatkan setiap orang yang percaya adalah mutlak kaya dan hidup dalam kelimpahan. Segala hal dalam hidupnya diorientasikan pada kesuksesan semata. Teologi Sukses atau Injil Sukses, sering juga dikenal dengan injil-Injil kemakmuran (prosperity), kelimpahan berkat (gospel of Blessing), atau teologi Anak Raja. Jadi dalam pandangan ini, arah teologi sukses semata-mata ditujukan pada kondisi yang dibentuk sedekian rupa yang memposisikan umat Tuhan atau orang percaya semestinya hidup dalam kekayaan dan kelipahan materi yang diklaim sebagai tanda kehidupan yang diberkati, karena itulah makna dari kehidupan yang telah dipulihkan. Pertanyaan selanjutnya menanggapi hal tersebut adalah, "bagaimana dengan orang percaya yang ternyata memang hidupnya miskin dan melarat? Apakah vonis tidak diberkati dan lemah di dalam beriman?
Jadi apa yang dimaksud dengan Teologia Sukses atau Theology of Success adalah sama dengan Teologia harga diri (self-esteem) atau teologi Kemakmuran, (Prosperity Theology). Dari namanya, dapat diduga bahwa maksud dari teologia tersebut jelas menganut ajaran yang fokus pada kesuksesan. Menurut teologia ini, seorang yang menjadi Kristen yang melihat kesuksesan sebagai wujud penyertaan Allah. Kekristenan yang diberkati adalah mereka memiliki uang yang banyak, popularitas, jabatan tinggi dan prestasi yang tinggi. Mereka melihat arti sukses tidak berbeda jauh dengan orang dunia. Bagi mereka, kesuksesan bisa di raih orang Kristen jika hidup kudus/saleh serta memiliki iman yang besar. Kelompok ini sering memakai ayat-ayat Alkitab yang menekankan tentang hal iman namun mereka lebih suka mencomot satu bagian ayat tanpa melihat konteks keseluruhan ayat tersebut. Iman yang mereka ajarakan adalah iman yang bersifat antroposentris. Dalam buku gerakan kharismatik dan gereja kita, Hans Maris mengungkapakan bahwa "istilah antroposentris itu mencirikan kehidupan rohani yang bergerak ke arah yang salah, yang menempatkan manusia sebagai pusat perhatiannya"

2. Sejarah Teologi Sukses
Sebagian orang menelusuri cikal-bakal Teologi Kemakmuran sampai pada gerakan gnostik kuno abad ke-2 M, walaupun bukti-bukti yang dipaparkan masih bisa diperdebatkan. Hampir semua orang tampaknya setuju bahwa akar modern dari Teologi Kemakmuran terdapat pada diri E. W. Kenyon (1867-1948) dari Inggris. Ia berasal dari gereja Metodist, kemudian berpindah ke Baptis dan terakhir ke Pentakosta. Ia adalah seorang pengkhotbah, pendidik dan penulis yang hebat. Penekanannya pada 'iman sebagai sarana mendapatkan janji Allah' tertuang dalam 18 buku yang dia tulis. Salah satu frase yang berasal dari Kenyon dan terus dipakai sampai sekarang adalah "apa yang saya akui, itu yang saya miliki" (what I confess, I possess). Para peneliti berbeda pendapat tentang pemikiran tertentu yang mempengaruhi Kenyon. Di satu sisi sebagian berpendapat bahwa ia dipengaruhi oleh filosofi Gerakan Jaman Baru dalam berbagai bentuknya. , sedangkan di sisi lain sebagian peneliti menganggap ia dipengaruhi oleh para tokoh pentakosta aliran Faith Cure, misalnya A. B. Simpson dan A. J. Gordon. Beberapa ahli lain mengamini pengaruh Pemikiran Baru dalam konsep Kenyon, tetapi bersimpati terhadap usaha Kenyon mengintegrasikannya dengan Alkitab, sedangkan yang lain menolak latar belakang pemikiran tersebut tetapi lebih kritis terhadap doktrin Kenyon. Konsep di atas selanjutnya terus dikumandangkan oleh beberapa tokoh, misalnya Kenneth Copeland, Kenneth Hagin, Benny Hinn, Oral Roberts, Nasir Saddiki, Robert Tilton, T. D. Jakes, Morris Cerullo, Paul Crouch, Joel Osteen, John Avanzini, Fred Price, David (Paul) Yonggi Cho, dan Peter Popoff. Dari deretan nama tersebut, Hagin adalah yang terkemuka, sehingga dia seringkali disebut sebagai The Father of Faith Movement, walaupun menurut jajak pendapat dari majalah yang sama Hagin hanya berada di urutan ke-3 setelah Pat Robertson dan Kenneth Copeland. Hagin terkenal dengan kotbahnya tentang 4 formula menerima janji Allah: katakan - lakukan - terima - beritakan.
Faktor utama mengapa gerakan ini mampu menarik banyak pengikut. Faktor pertama adalah efek dari kebangkitan ekonomi dan sekularisasi. Pasca Perang Dunia II Amerika mengalami perkembangan ekonomi yang luar biasa. Kemakmuran merupakan hal yang sangat mudah didapat dan perlahan-lahan membentuk pola pikir yang materialistis. Situasi seperti ini akhirnya menimbulkan kekosongan batiniah dalam diri banyak orang. Nilai-nilai keagamaan dan mentalitas baru ini tampaknya sulit digabungkan. Dalam situasi seperti ini Teologi Kemakmuran menawarkan salah satu bentuk integrasi dari dua hal itu. Faktor berikutnya adalah perkembangan Pemikiran Baru (New Thought). Kemiripan yang fundamental antara Teologi Kemakmuran dan Gerakan Jaman Baru - penekanan pada kemampuan aspek batiniah dan perkataan manusia, nilai-nilai keilahian manusia, kesuksesan
dan kemakmuran - menunjukkan bahwa keduanya saling berkaitan. Masyarakat Amerika yang telah diracuni paham pantheisme Timur melalui Pemikiran Baru dengan mudah beralih pada Teologi Kemakmuran yang menekankan hal-hal yang sama.
Pengaruh perkembangan ekonomi global di Amerika serikat paska Perang Dunia II dan perang Korea. Ekonomi Amerika mengalami booming setelah berhasil memproduksi alat-alat tempur yang dikonsumsi pada Perang Dunia II (1941-1945) dan Perang Korea (1950). Ketika Amerika mengalami kemenangan dalam peperangan, mereka mengalami kepesatan dibidang perekonomian dan perindustrian.
Konsekwensinya masyarakat Amerika mengalami kemakmuran secara materil. Suasana kemakmuran, menciptakan iklim dan filosofi "Materialsm", dan "Hedonism". Akibatnya, muncullah berbagai kajian dibidang sosiologi, psikologi bahkan teologi serta praktek-praktek keagamaan yang menyesuaikan diri dengan iklim materialism. Bermunculanlah berbagai buku-buku psikologi yang mengajarkan bagaimana cara untuk memperoleh kesuksesan, seperti karya Norman Vincent Peale yang berjudul, "Positive Thinking", dll. Kemajuan ekonomi Amerika semakin meluas dan bergeser ke kawasan pantai Barat (pasifik), sehingga terjadi perkembangan ekonomi yang luar biasa dinegara bagian California khususnya disekitar Los Angeles. Dikawasan inilah ajaran "self Actualization" dan "Self Esteem" sangat tumbuh subur. Di wilayah ini, Robert Schuller berhasil membangun Cristal Cathedral yang mewah dan mengembangkan ajaran kemakmuran yang dipromosokan Norman Vincent Peale.
Gejala ini meluas kedalam tubuh gereja-gereja di Amerika. Muncullah penginjil-penginjil yang mengajarkan kesuksesan, kemakmuran dan kekayaan yang berlimpah.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa teologia Sukses lahir di Amerika sekitar tahun 1960-an dan berkembang di tahun 1980-an . Namun, tidak semua orang menyambut teologia tersebut. Pada umumnya, Teologia Sukses disikapi dengan pro dan kontra, baik oleh umat maupun oleh pendeta-pendeta dan para ahli teologia. Maka dari itu sikap positif dan negatif menanggapi teologia ini sangat tepat dimunculkan untuk saling melengkapi, memperbaiki dan mampu memahami secara benar dari sudut kebenaran teologisnya.
Herlianto mengatakan bahwa, perkembangan teologia sukses tidak lepas dari perkembangan dunia yang makin lama makin materialistis. Perkembangan ini tidak lepas dari perkembangan ekonomi global yang dimulai di Amerika Serikat sejak usainya perang dunia II dan perang Korea. Perekonomian di Amerika Serika maju pesat karena dipacu oleh industry perang yang luar biasa yang disebabkan perang besar yang berturut-turut melibatkan Amerika Serikat dalam perang dunia II (1941-1945) dan perang Korea (1950). Kemenangan peran tersebut membawa perekonomian dan perindustrian Amerika Serikat berkembang dengan pesat dan menghasilkan masyarakat makmur dan berkelimpahan secara materi. Kelimpahan secara materi namun tidak disertai dengan kekuatan kerohanian membuat manusia akhirnya tidak pernah merasa puas. Agama kemudian membungkus praktek hidup dalam kemewahan dan kelimpahan materi tersebut yang memungkinkannya tumbuh semakin subur filsafat American Mentalism yang menyebabkan ajaran tentang kesuksesan tersebut bergerak cepat melalui para penginjil materialistis melalui berbagai media. Kemudian sejalan dengan perkembangan globalisasi ekonomi yang meliputi kawasan Asia Pasifik, pengaruh materialisme Amerika inipun ditularkan ke kawasan Asia, khususnya Korea Selatan yang dikenal sebagai salah satu macan Asia yang mengalami boom ekonomi sebagai akibat pasca perang tahun 1950, dan selanjutnya juga ke Indonesia. Kondisi pasca perang yang menderita, dan ketika ekonomi pasca perang mulai bertumbuh, setiap orang berlomba-lomba untuk mengejar kemakmuran materi tidak terkecuali orang-orang Kristen.
B. Pandangan Tokoh-Tokoh Teologi Sukses dan Ajarannya dalam Kekristenan
a. Semboyan Teologi Sukses
Pertama, dalam teologi harga diri (self-esteem) yang digerakkan oleh Robert Schuller, ada beberapa hal yang nampak sebagai semboyan kebesaran kelompok ini, yaitu: Berpikir Mungkin/bisa (Possibility thinking). Yaitu cara berpikir demi kemungkinan yang positif. Possibility thinking adalah istilah lain dari positive thinking, yang dikembangkan oleh Robert Schuller yang sebenarnya adalah babakan lanjutan dari Norman V.Peale yang membangun kekuatan sugesti pikiran dengan mengawinkan kekuatan psikologi dengan agama. Dalam hal ini, sugesti-sugesti yang biasa dipakai oleh Norman maupun Schuller adalah kata-kata yang memberikan pengharapan iman kepada jemaatnya. Khotbah-khobah disampaikan dalam topic-topik seperti: Iman yang dapat memindahkan gunung; bagaimana menjadikan impian kita nyata; cara berpikir seperti itu kemudian dikawinkan dengan kekuatan berpikir positif untuk mencari kemungkinan-kemungkinan baru untuk mencapai sukses baik dalam rumah tangga, bisnis dan karir. Atas dasar konsep itu kemudian dicita-citakan pembangunan sebuah gereja super mewah yang dianggapnya sebagai sukses.
Dalam bukunya Move Ahead with Possibility Thinking, Schuller membangun beberapa langkah semacam semboyan untuk membangun pribadi menjadi "possibility thinker", yaitu:
a) Hilangkan perasaan-perasaan Anda yang negative
b) Kembangkan perasaan-perasan positif, termasuk dalam hal hal visualisasi dan sugesti diri yang positif dalam bentuk mengucapkan kalimat-kalimat positif berulang-ulang.
c) Bukalah tiap hari dengan benih pikiran yang positif, contohnya adalah"tiada yang mustahil bagi Allah".
d) Isilah otak secara tetap dengan diet positif
e) Berilah diri untuk mengalami pengobatan possibility thinking yang mendalam seminggu sekali
f) Gunakanlah kekuatan doa
g) Lakukanlah pemeriksaan kepribadian secara menyeluruh
Dalam bukunya yang lain yang berjudul self love ia mengemukakan bahwa cinta diri itu merupakan kekuatan pendobrak sukses yang dinamis, dan mencintai diri sendiri adalah rahasia kebahagiaan dalam hidup, cinta diri adalah keselamatan.
Kedua, dalam teologi kemakmuran (Prosperity theology)
Smith mengatakan bahwa, teologi kemakmuran yang berkembang di Amerika mula tahun 1960 an adalah semacam kebangunan mimpi Amerika yang akbar tentang pencapaian kekayaan, kesuksesan dan kekuasaan yang dikembangkan sebagai sebuah filsafat keagamaan yang berporos pada kebangkitan gerakan karismatik. Gerakan keberimanan ini mengharuskan setiap orang Kristen hidup di dalam kesehatan yang baik serta berkelimpahan materi, sebagai tanda yang dapat dilihat dari karya pemberkatan Allah.
Teologi Kemakmuran atau Doktrin Kemakmuran (Prosperity theology), yang kadang-kadang disebut pula Teologi Sukses, adalah doktrin yang mengajarkan bahwa kemakmuran dan sukses dalam bisnis adalah tanda-tanda eksternal bahwa yang bersangkutan dikasihi Allah. Kasih Allah ini diperoleh sebagai sesuatu takdir (predestinasi), atau diberikan sebagai ganjaran untuk doa atau jasa-jasa baik yang dibuat orang tersebut. Teologi Kemakmuran adalah bagian yang cukup umum dari televangelis dan beberapa gereja Pentakostal di Amerika Serikat yang mengklaim bahwa Allah menginginkan agar orang Kristen sukses dalam segala hal, khususnya dalam segi keuangan mereka. Para penganjur dogma ini mengklaim bahwa tujuannya adalah untuk pekerjaan misi atau mendanai pemberitaan Injil di seluruh dunia. Ajaran mereka didasarkan pada beberapa ayat di Alkitab dan salah satunya adalah Ulangan 8:18 yang mengatakan: "Tetapi haruslah engkau ingat kepada TUHAN, Allahmu, sebab Dialah yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan, dengan maksud meneguhkan perjanjian yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu, seperti sekarang ini." Beberapa penginjil di Amerika Serikat yang menganut teologi kemakmuran antara lain adalah Kenneth Copeland, Benny Hinn, Nasir Saddiki, Robert Tilton, T.D. Jakes, Paul Crouch, Joel Osteen, dan Peter Popoff. Pat Robertson menyebut teorinya ini sebagai "Hukum Timbal-Balik" dalam acaranya TV-nya, The 700 Club.

b. Konsep Mengenai Allah
Schuller memulai klaim doktrinnya tentang Allah sebagai Bapa. Doktrin Allah sebagai Bapa dimaknai secara parsial hanya dari sisi pemulihan hubungan Bapa dengan anak, yang menempatkan pribadi-pribadi sebagai orang percaya dapat menerima berkat berupa kesehatan di dalam kepenuhan gambar Allah. Artinya bahwa Schuller beralasan bahwa apabila seseorang telah menjadi anggota dalam keluarga Allah, dan telah sungguh-sungguh menjadi anak Allah, dan Allah adalah bapanya, dan telah menghancurkan keegoisan dengan mengantikannya dengan sifat kemanusiaan yang baik dan menggantikan perasaan yang tidak percaya diri dengan keyakinan diri yang positif yang bersumber dari Allah, maka Allah sebagai Bapa memampukan seseorang untuk mengerjakan keberimanannya yang nantinya akan dpat membangun harapan untuk membangun martabat atau prestise manusia.
Herlianto menegaskan bahwa, konsep yang mengenai Allah yang dipikirkan oleh teologi sukses adalah khas sinkritistik. Kenyaataan tersebut tepat seperti apa yang dikatakan dalam majalah Chritianity today menyikapi gejolak yang ada di gereja-gereja di Korea, yang secara khusus dibahas tentang pengaruh perdukunan tradisional terhadap gereja. Gereja-gereja di Korea telah mengalami pergeseran dari Bible Christianity kea rah Shamanistic Christianity. (kekristenan perdukunan) yang jelas dapat dilihat dalam konsep Allah yang maha besar (monisme), pujian dan penyembahan dan hubungan Raja-Anak raja.
Konsep Allah yang mahabesar yang diusung oleh teologi sukses berorientasi kepada nilai Allah yang dapat diatur di dalam kehendak manusia, atau sekedar Allah yang memenuhi kebutuhan manusia. Misalnya, dalam ajaran Norman Vincent Peale, ajaran mengenai Allah sangat dipengaruhi oleh ajaran ilmu jiwa seperti ajaran Sigmund Freud, Jung dan William James yang sarat dengan mengadalkan kekuatan energy manusia. Di sini dengan jelas terlihat adanya kemiripan yang luar biasa dengan konsep tentang makro kosmos - mikro kosmos dalam Gerakan Zaman Baru. Dalam ajaran Perdukunan, atau Mistik, atau Gerakan Zaman Baru kita melihat bahwa Tuhan hanya dianggap semacam "kekuatan semesta" (makro kosmos) saja, yang dalam konsep James atau Peale disebut sebagai "Universal Spiritual Power", dan manusia dianggap sebagai "bagian kekuatan semesta" (mikro kosmos) yang oleh James atau Peale sebutkan sebagai "Inner Spiritual Power".
Konsep Allah dalam Alkitab tentang Pencipta yang berpribadi yang kehendak-Nya harus kita taati kabur. Itulah sebabnya dapat dimaklumi jika Firman Allah sebagai pedoman etika Kristen dalam ajaran Peale tidak jelas diungkapkan. Hal percaya atau iman yang dalam Alkitab dengan jelas disebutkan sebagai hubungan yang hidup antara Allah - manusia di sini diberi pengertian baru, seakan-akan hanya "usaha pengolahan kekuatan batin" saja. Iman bulan lagi suatu relasi yang hidup antara Tuhan - manusia, melainkan hanya suatu "realisasi kekuatan batin" atau dengan istilah yang labih populer semacam "realisasi diri" atau "aktualisasi diri". Prinsip Peale yang digali dari pandangan ahli jiwa William James memang beranggapan bahwa dalam bawah sadar batin manusia ada kekuatan tersembunyi yang tak terhingga, yang belum dimanfaatkan manusia. Dengan keyakinan kekuatan itu bisa digali dan sumber sukses itu sudah ada dalam bejana bawah sadar itu.
Dalam ajaran Robert Schuller, Kenneth Hagin maupun para pangnjil Sukses lainnya terlihat dengan jelas pengaburan konsep Allah yang berpribadi menjadi semacam "kekuatan semesta". Itulah sebabnya tema-tema khotbah yang dibawakan "nabi-nabi" Sukses itu dalam banyak segi mirip sekali, yaitu penekanan pada kemahakuasaan, ketinggian, dan kebesaran Allah sekaligus kekuatan semesta ini, kemudian hanya jadi objek yang dapat dimanfaatkan manusia, baik kekuasaan maupun kebesarannya Schuller menyebut kekuatan itu sebagai (Dinamic force).

c. Konsep Mengenai Iman
Ajaran teologi sukses tentang iman dapat diterjemahkan ke dalam tiga prinsip mendasar dalam teologi sukses yaitu: Berpikir Positif, Visualisasi, Kata-Kata Sugesti. Sehubungan dengan berpikir positif, penganut teologi sukses menempatkan bahwa berpikir positif atau positive thinking merupakan ajaran yang sangat ditekankan sebagai salah satu metoda yang dipraktikkan di kalangan Teologi Sukses dan diajarkan baik oleh Peale, Schuller, Yonggi Cho maupun umumnya penginjill-penginjil sukses lainnya. Ajaran ini memang menarik karena meletakkan aktivitas menghadapi hidup dengan kemampuan berpikir manusia. Sebenarnya penggalian kemampuan berpikir manusia sebagai suatu
"kekuatan" yang bisa dimanfaatkan sudah lama dikembangkan oleh
orang-orang, setidaknya, dikalangan psikologi sudah dikembangkan
William James yang menekankan "energi manusia" kemudian
diperkenalkan oleh Abraham Maslow yang terkenal dengan self
atualizationnya. Kondisi inilah yang kemudian diangkat kembali oleh tokoh-tokoh teologi sukses, yaitu Norman Vincent Peale dengan bukunya berjudul The Power of Positive Thinking yang kemudian dikembangkan Robert Schuller dengan bukunya buku Move Ahead with Posibility Thinking dan Kenneth Hagin dengan pandangan Positive Confession. Yang maksudnya sama dengan positive thinking, dan kemudian dipopulerkan Paul Yonggi Cho dalam tulisan-tulisannya terutama yang berjudul Dimensi Keempat.
Semua usaha itu menurut Peale ditujukan agar manusia memperoleh "sukses dan kesembuhan pikiran" berupa "sukses materi dan status sosial yang lebih tinggi". Karena daya tarik inilah Peale mulai dikenal sebagai pelopor gospel of success and mind cure atau gospel of positive thinking. Menurut Peale, tugas manusia adalah meyakinkan diri bahwa hanya pikiran-pikiran yang baik sajalah yang memenuhi batin/bawah sadar, sebab batin/bawah sadar hanya akan mengembalikan apa yang masuk ke dalamnya. Sama dengan ajaran Christian Science yang menokankan Pengobatan Melalui Pikiran, begitulah pusat ajaran Peale loga berkisar pada Kekuatan Pikiran/Batin yang dianggap bersifat "I la hi". Positive thinking biasanya diiringi pula dengan praktik Positive Imagination/visualization dan Self-Talk (kata-kata sugesti).
Pada prinsipnya dalam positive thinking ada anggapan bahwa plkiran manusia mempunyai kekuatan dalam dirinya sendiri dan kekuatan itu dapat dikembangkan untuk mencapai potensinya yang penuh. Di sini kekuatan itu dianggap sudah inheren dalam diri manusia, jadi segala sesuatu bisa terjadi atau tidak terjadi bila menggunakan kekuatan pikiran. Dalam positive thinking iman sering diberi pengertian yang berbeda dengan arti iman dalam Alkitab. Dalam positive thinking iman diberi pengertian yang artinya kemampuan mengolah kekual an pikiran atau kekuatan batin (inner power) itu, ini bisa dilihat alisalnya dalam ucapan-ucapan Peale sendiri yang mengatakan bahwa:
Kekristenan terapan ditujukan untuk menolong manusia menggali kekuatan batin (inner power) dalam dirinya Manusia terlalu banyak menderita stress dan ketegangan hidup modern, karenanya mereka menibutuhkan suatu pelarian di mana mereka dapat memperoleh kedamai an hati dan pikiran, dan agama adalah tempat pelarian
Dalam buku sebelumnya is menyebutkan bahwa:
Harapan manusia satu-satunya adalah menyatukan dirinya dengan suatu kekuatan yang lebih super daripada dunia materi, karena itu Tuhan adalah juga suatu "kekuatan batin" (inner spiritual power) di mana manusia tinggal menggalinya sederhana saja, terimalah iman. Percayd lah bahwa Anda sudah menerima dan Anda akan menerimanya.
Prinsip Peale yang digali dari pandangan William James memang beranggapan bahwa dalam batin manusia ada kekuatan yang tersembunyi yang tidak terhingga yang belum dimanfaatkan manusia dan kekuatan itu bisa digali. Dan sumber sukses dalam bejana bawah sadar itu dapat diperoleh perasaan sehat, kehebatan serta kekuatan yang didapatkaa dari dalam diri Anda sendiri yang mungkin Anda tidak pernah tahu sebelumnya.
Positive thinking ini kemudian populer melalui berbagai gerakan pengembangan pribadi dengan nama seperti New Conciousness Movement, Human Potential Movement, Creative Imagination, Sell Motivation, Self Actualization, Self Realization, Self Esteem, Transfor mation Movement, Mind Power, Success Motivation, Personal De velopment, New Humanism, dan lain-lain.
Hal kedua adalah metode visualisasi. Visualisasi hampir merata diajarkan oleh para penginjil Sukses sebagai salah satu metoda untuk memperoleh sesuatu. Hal ini menarik untuk disimak, sebab ajaran visualisasi memang merupakan praktik umum dalam perdukunan thin mistik, sedang dalam Alkitab ajaran visualisasi tidak dijumpai. dalam ajaran visualisasi yang dipopulerkan di kalangan Teologi Sukses terdapat pengertian yang kabur yang mencampuradukkan antara penyataan atau wahyu berupa penglihatan (revelation/vision) dan bayangan manusia sendiri berupa visualisasi (mernbayangkan). Pada prinsipnya ajaran visualisasi demikian yang dipopulerkan ke dalam kekristenan adalah seperti yang diutarakan oleh Dave Hunt dalam bukunya:
"Adanya anggapan bahwa "melihat" adalah "iman" Gambaran yang dibayangkan adalah kunci untuk mencapai apa yang ingin diperoleh yang menghasilkan iman dan kesembuhan; "Imajinasi" sering disamakan dengan "penyataan", dan "visualisasi" dengan "wahyu". Tehnik visualisasi juga berupa ajaran yang dipopulerkan oleh Norman Vincent Peale, Robert Schuller dan Yonggi Cho. Visualisasi bagi Peale adalah langkah lanjutan dari positive thinking, dan visualisasi merupakan praktik iman dan dimensi keempatnya Cho. Yonggi Cho sendiri dalam bukunya Dimensi Keempat mengajarkan, bahwa berdoa dengan membayangkan dapat menghasilkan mukjizat berupa kenyataan, seperti untuk tujuan mencari jodoh atau meminta sepeda, meja atau kursi, maupun segala sesuatu. Robert Schuller beranggapan bahwa apa yang kita lihat secara visualisasi itu akan kita peroleh secara nyata. Dalam tulisan editorialnya pada majalah Possmiums is mengemukakan ucapan sebagai berikut: Sewaktu saya mengelilingi dunia dan bertemu orang-orang yang sukses
dan dinamis, saya secara tetap mengamati kesamaan yang mereka mi
liki. Mereka yang benar-benar sukses mencapai tujuannya dengan memvisualisasikan, sukses. Mereka melukiskan secara detail tujuan materi, fisik atau spiritual yang ingin dicapai. ... "The me I see is the me I'll be." Lukiskan diri sendiri sebagai orang sukses yang ingin kita capai adalah langkah pertama untuk mencapai tujuan itu Membayangkan secara positif adalah langkah pertama.
Dalam bukunya yang lain Schuller mengemukakan bahwa:
Banyak orang gagal karena mereka mengabaikan visualisasi yang terinci mengenai apa yang dimintanya. Bila kita bingung dan mempunyai gambaran yang kacau mengenai apa yang ingin kita capai, jangan kaget kalau kita gagal. Karena itu langkah awal dalam menjalani "iman yang memindahkan gunung" adalah dengan membuat gambaran mental yang terinci mengenai mimpi kita.'
Dalam Dimensi Keempat, Yonggi Cho mengemukakan bahwa:
Kita harus melihat objek doa kita dengan jelas secara visual sehingga kita dapat merasakannya dengan emosi kita. Bila kita tidak melakukan "hukum iman" ini, kita mustahil akan menerima jawaban akan apa yang kita minta.
Dalam buku Kehidupan yang Berhasil kita dapat melihat ciri-ciri njaran visualisasi Cho ini, yaitu bahwa "penglihatan kita juga mempunyai kekuatan" seperti yang dikatakannya:
Jika Saudara memusatkan penglihatan Saudara terus-menerus pada suatu benda, maka terbitlah suatu kuasa yang menakjubkan untuk menciptakan sesuatu yang baik ataukah yang jahat.°
Bahkan untuk memperoleh meja, kursi, sofa maupun sepeda, Cho mengajarkan agar kita menggunakan kekuatan visualisasi yang dengan alas membuat gambaran rinci mengenai apa yang kita minta, sebab dengan gambaran rinci kita menjamin diperolehnya harapan itu.
Hal ketiga, adalah kata-kata sugesti. Norman Peale dan Robert Schuller seiring dengan ajaran psikologi modern memang mempopulerkan bahwa "kata-kata yang kita ucapkan mempunyai kekuatan magis" Kata-kata maupun kalimat tertentu bila diucapkan berulang-ulang akan mendatangkan khasiat tertentu bagi mereka yang mengucapkan. Jadi sejalan dengan dengan pemaknaan iman kaum teolog sukses, beriman berarti memperkatakan apa yang diimani dan dengan demikian apa yang diperkatakan tersebut akan terjadi atau teralami. Sering kali pengucapan kata-kata itu harus dilakukan dengan suara keras, karena dianggap bahwa suara keras menunjukkan sikap "iman" (kekuatan batin) yang besar yang menjamin berkhasiatnya kata-kata itu. Peale mengajarkan dalam bukunya mengenai kata-kala sebagai terapi penyembuh, bahkan mengucapkan doa dengan kata-kata keras mempunyai khasiat pula. Robert Schuller juga menggunakan kekuatan sugesti kata-kata yang diajarkan dalam khotbah atau melalui buku-bukunya, karen dalam pandangannya ia pun berpendapat bahwa kata-kata yang diucapkan keras dan berulang-ulang sangat besar khasiatnya dalam memperbaiki kehidupan mental seseorang. Jadi, dalam pemikiran para tokoh Sukses, kata-kata yang diucapkan lebih lagi bila keras, akan menghasilkan mukjizat luar biasa dalam seseorang. Sama dengan Peale, Schuller juga menggunakan metode dengan mengucapkan doa-doa. Doa tidak dijadikan sarana beruhungan dengan Tuhan, tetapi semacam mantra berkhasiat bagi yang melakukan. Morris Cerullo, seorang penginjil Sukses lain, juga mendorong pengucapan kata-kata doa dengan keras. Menurut Yonggi Cho, kekuatan kata-kata itu sangat berperan, karena kata-kata itu dianggap mempunyai kuasa dan tenaga kreatif dalam dirinya. Dalam bukunya Dimensi Keempat, khususnya pada bab 3, ia membahas mengenai "Tenaga yang kreatif dari suatu kata yang diucapkan".

B. Tanggapan terhadap Teologi Sukses
Mengapa banyak ahli teologia mengkritik Norman Vincent Peale, Robert Schuler, Kenneth Hagin, dan sederet nama lain yang merupakan tokoh dan pengkhotbah dari gerakan tersebut? Masalahnya adalah dari segi teologis, di mana berbagai masalah timbul dalam pemahaman teologia gerakan tersebut. Sebagai contoh, ketika kelompok ini mendengungkan slogan "Sebutlah dan tuntutlah", menjadi pertanyaan, siapakah kita sehingga kita dapat menuntut Allah? Ketika kelompok ini menantang umat untuk "mengimani janji-janji Allah", menjadi pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan iman?
Kelihatannya, disadari atau tidak, iman telah disamakan dengan sugesti atau ambisi pribadi. Dalam memahami hidup beriman, dapat dilihat satu kesalahan serius dari kelompok ini, yaitu ketika mereka hanya melihat dan menekankan kuasa Allah, tapi gagal menyadari kedaulatan Allah. Artinya, Allah memang mahakuasa dan sanggup melakukan segala sesuatu. Tapi hal itu tidak dapat dipisahkan dari kehendak Allah yang suci, di mana Dia bebas untuk melakukan atau tidak melakukan hal itu. Dengan perkataan lain, jika Allah tidak mengabulkan doa, itu tidak berarti kurang beriman.
Selanjutnya, penganut Teologi Sukses gagal menyadari apa arti sukses menurut ukuran Alkitab. Jika ukuran kesuksesan adalah seperti yang disodorkan oleh orang-orang tersebut di atas, Tuhan Yesus dan rasul rasul adalah pribadi-pribadi yang gagal. Alkitab memberitahukan bahwa ketika di dunia ini, baik Tuhan Yesus, maupun kedua rasul besar, yaitu Petrus dan Paulus bukanlah orang-orang yang kaya secara materi. Tidak hanya demikian, dari kaca mata duniawi, Tuhan Yesus mengakhiri hidup-Nya dengan gagal, di mana Dia mati disalibkan. Dan menurut tradisi Gereja, separuh dari murid-murid Tuhan Yesus mengakhiri hidupnya bukanlah dengan kematian wajar, namun dengan mati syahid (martyr). Petrus sendiri disebutkan mati dengan posisi terbalik: kepala ke bawah dan kaki ke atas. Namun, Tuhan Yesus dan rasul-rasul bukanlah orang-orang gagal. Sebaliknya, mereka adalah orang-orang yang sukses sejati. Mereka sukses karena mereka setia kepada Allah. Mereka rela memikul salib atau penderitaan yang telah Allah tetapkan dalam hidup mereka (Luk.9:23).
Menarik sekali mengamati apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus pada khotbah akhir zaman tentang talenta (Matius 25:14-30). Di sana yang ditekankan adalah kesetiaan, bukan kesuksesan.
"Baik sekali perbuatanmu itu hai hamba yang baik dan setia" (Mat.25:21). Selanjutnya, jika kita membaca penilaian Tuhan Yesus kepada ketujuh jemaat, maka hal yang sama juga ditekankan oleh Tuhan Yesus. "Hendaklah engkau setia sampai mati" (Why.2:10).

C. Tantangan bagi Gereja: Dampak Teologi Sukses terhadap
Pertumbuhan Iman dan Kesaksian Hidup Kristen
Kehadiran teologi sukses sebenarnya memiliki dua dampak besar. Pertama, secara positif, manusia "dibakar" semangatnya akan pentingnya dinamika iman. Iman, bukan hanya dipahami sebagai suatu bentuk sikap yang pasif dan menyerah pada takdir, namun lebih merupakan suatu tindakan. Kedua, secara negatif bisa menjerumuskan manusia pada instant faith dan anggapan bahwa tanda kita diberkati adalah kesuksesan. Gereja akhirnya hanya diperhadapkan kepada pencapaian kuantitas yang berhubungan dengan semakin meningkatnya jumlah persembahan namun dengan kualitas kerohanan yang minim. Di dalam pertumbuhan iman, model beriman dengan membangun keyakinan diri dalam tuntutan dan visualisasi sangat menempatkan kualitas keberimanan seorang Kristen jadi sangat dangkal, yang sesungguhnya belum dapat dikategorikan beriman, namun lebih kepada terbangunnya budya pemaksaan dan pemerasan rohani yang berdampak pada kekecewan dan keputusaasaan ditengah kondisi yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Penganut teologi sukses seringkali membangun citra hidup Kristen dengan memperlihatkan bahwa, hidup dalam berkat Tuhan adalah berada dalam kehidupan yang berlimpah harta benda, kesehatan yang sempurna, dan gengsi yang tinggi. Model kehidupan Kristen yang seperti ini sama sekali tidak menggambarkan apa yang dimaknai sebagai kehidupan yang diberkati Tuhan, jika makna berkat Tuhan hanya dimaknai secara material semata. Teologi sukses akan membawa perubahan cara pandang hidup Kristen dari arah semula memuliakan Tuhan, berbalik untuk memuliakan diri sendiri. Dalam Hal ini posisi Tuhan hanya sebagai obyek pemenuh kebutuhan yang diinginkan demi kepuasan manusiawi.


Kesimpulan
Teologi Sukses berdasarkan penggalian David L. Smith dapat disimpulkan sebagai berikut:
Teologi Harga Diri
Pendiri Teologi Harga Diri adalah Robert Schuller dan berpengaruh terhadap masyarakat Amerika Serikat hingga saat ini. Perkembangan Teolog Harga Diri dimulai dari konsep Norman Vincent Peale, yang berpendapat bahwa psikiater menunjukkan dasar akibat masalah, kita sebagai pelayan mulia mengaplikasikan penebusan agung melalui doa, iman, dan kasih.
Schuller berpendapat bahwa tujuan dari berpikir yang mungkin adalah membangun suatu harga diri yang positif dan sehat, karena harga diri sebagai martabat ilahi yang Allah maksudkan menjadi kebenaran emosional sebagai anak-anak yang diciptakan menurut gambar-Nya. Sekuler teologi adalah menjangkau yang belum terjangkau. Gereja harus berhenti menjadi bermain gereja, tetapi menjadi agama yang missioner, yang berkonsentrasi pada kemanusiaan dan pemenuhan kebutuhan manusia yang terdalam. Institusi-institusi agama yang berespon terhadap pelayan seperti ini akan mengalami kemakmuran.
Allah adalah Bapa yang melengkapi kesehatan dan kepenuhan gambaran diri. Ketika seorang menjadi anggota keluarga Allah, diakui bahwa ia benar-benar anak Allah, dan Allah menjadi Bapanya, egois yang merusak diganti dengan kerendahan hati, perasaan tidak berarti diganti dengan jaminan diri yang positif dari identifikasi dengan Allah.
Hal yang berada di balik masalah manusia adalah dosa. Dosa adalah pemberontakan terhadap Allah. Dosa asali tidak diakui. Kotbah tradisional tentang dosa dan penghakiman sebagai sebuah pengaruh yang merusak kepribadian manusia dan kehidupannya. Setiap penilain tentang dosa harus ditolak karena itu akan menyebabkan perasaan buruk terhadap diri sendiri. Dosa asali adalah kurang kepercayaan. Karena kejatuhan Adam, semua keturunannya lahir tanpa memiliki suatu relasi percaya dengan Bapa Sorgawi. Positif kekristenan tidak berurusan dengan kebejatan manusia, tetapi ketidakmampuan menilai diri dengan baik.
Keselamatan atau lahir baru adalah kita harus diubah dari gambaran diri yang negative kegambaran diri yang positif, dari ketidakberartian kepada harga diri, dari ketakutan kepada mengasihi, dari keraguan kepada percaya. Kematian Kristus di Kalvari adalah mendemonstrasikan nilai Allah yang ditempatkan pada manusia. Komitmen manusia kepada Kristus, akan menyadarkan mereka tentang kelayakan dan harga diri.
Kehidupan Kristen adalah penyangkalan diri dan memikul salib. Allah tidak memanggil umat-Nya untuk berpikir secara miskin tentang dirinya dan memperburuk dirinya. Harga diri adalah jalan yang pasti untuk penyangkalan diri. Memikul salib adalah menolong orang lain menemukan harga dirinya dan menghasilkan banyak buah di dalam hidupnya.
Gereja adalah kelompok orang-orang Kristen yang bersukacita, dengan sukacita membagi iman mereka kepada sesame mereka yang tidak mengetahui sukacita dalam Kristus. Orang-orang yang belum bertobat harus dilihat bukan sebagai sesuatu yang jahat, tetepi orang yang tidak percaya yang berharga di mata Allah.
Hal yang positif: seorang pelayan harus mengetahui apa yang ia inginkan dan bagaimana ia menggunakan cara terbaik untuk menggapainya. Gereja harus memberitakan Injil dalam bahasa yang dapat dimengerti. Penyembahan dan pujian yang layak harus menjadi prioritas. Hal yang negative: kemanusiaan dan psikologi menjadi orientasi pengajarannya.

Teologi Kemakmuran
Teologi Kemakmuran disebut juga Gerakan Iman yang dipopulerkan oleh penginjil televise Karismatik Amerika yaitu Kenneth Hagin yang disebut sebagai Nabi Kemakmuran dan Kenneth Copeland. Teolog kemakmuran mempraktekkan pelayanan dengan karunia, kesembuhan ilahi, dan menari di dalam Roh. Jika seorang tidak mengatahui bahwa kehendak Allah baginya adalah makmur, maka ia tidak akan mengalami kemakmuran. Kunci dari kemakmuran adalah ketaatan, jika tidak taat maka tidak ada kemakmuran.
Hal-hal yang menyebabkan teologi kemakmuran terjadi adalah keyakinan bahwa Allah dapat menyembukan melalui mujizat, sehingga setiap pelayan harus berdoa untuk mendapat karunia tersebut, karena Yesus tidak pernah menolak.
Allah berkuasa di bumi, untuk itu, kita harus mengambil dari Iblis hal-hal yang baik untuk hidup. Untuk mendapat berkat tidak harus menunggu sampai di surga, tetapi waktu kemakmuran adalah sekarang, dan kemakmuran termasuk kemakmuran financial.
Kesehatan dan kekayaan adalah akibat dari pengakuan yang positif, yang didasarkan pada Roma 10:10 dan Mark. 11:23-24. Jika Allah telah menjaminnya, maka akan menjadi bagian dari kehidupan orang percaya. Berkat telah disediakan, tetapi bergantung kepada kita untuk datang mengambil atau tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar